"Ibu tidak apa-apa, Nak. Kamu jangan terlalu khawatir," kata Ibu pelan, seraya menggenggam tangan Raka. Namun, Raka bisa merasakan betapa rapuhnya tangan itu kini.
"Nak, kamu harus terus berjuang. Jangan khawatirkan Ibu," lanjut ibunya dengan senyum lembut, meski tubuhnya lemah.
    Kata-kata itu, meski sederhana, terasa seperti harapan dan keyakinan yang tak pernah goyah. Sekali lagi, Ibu meminta agar Raka tak menyerah pada cita-citanya. Raka pulang ke kota dengan berat hati, namun tekadnya semakin besar. Ia tahu, meski ibunya tak selalu berada di sisinya, cinta kasihnya akan selalu menemani langkahnya. Benang merah yang diikatkan di tasnya menjadi pengingat abadi bahwa ada seseorang yang selalu mendukungnya, tak peduli betapa jauh jarak memisahkan mereka.
     Tahun demi tahun berlalu, dan akhirnya Raka berhasil meraih impiannya. Ia bekerja di sebuah perusahaan besar, mendapat gaji pertama, dan segera mengirimkan sebagian untuk ibunya. Hatinya penuh rasa syukur dan bangga, membayangkan senyum Ibu saat menerima kabar keberhasilannya.
     Namun pada suatu hari, sebuah surat dari kampung datang dengan kabar yang mengejutkan. Ibunya telah berpulang. Surat itu datang dari tetangganya, Pak Darto, yang telah lama mengenal keluarga Raka. Pak Darto bercerita bahwa Ibu meninggal dalam tidurnya, tanpa rasa sakit, seperti telah damai dengan hidupnya.
     Raka merasakan hatinya seakan pecah berkeping-keping. Seluruh pencapaian dan kesuksesannya tiba-tiba tak berarti lagi. Ia merasa seperti kehilangan bagian paling penting dari dirinya, sumber kekuatan yang selama ini ia pegang teguh. Di tengah rasa dukanya, Raka menemukan selembar surat yang ditinggalkan ibunya untuknya.
"Nak, jika kamu membaca surat ini, Ibu sudah tidak ada di dunia ini. Jangan bersedih, Ibu akan selalu bangga padamu. Kejarlah mimpimu sampai kamu mencapai apa yang kamu inginkan. Benang merah yang Ibu berikan adalah tanda bahwa cinta Ibu akan selalu bersamamu, di manapun kamu berada."
     Raka menangis membaca surat itu. Kata-kata sederhana itu membawanya pada tangis yang tertahan, menyadarkan bahwa benang merah itu bukan sekadar hiasan atau pengingat kecil. Ia adalah warisan cinta yang abadi, mengikatkan dirinya pada kenangan yang akan terus hidup di hatinya. Raka menyadari bahwa meski Ibu tak lagi ada di sampingnya, kasih sayang Ibu tetap melekat di setiap langkah hidupnya.
     Pada suatu malam, Raka duduk sendiri di kamarnya di kota, menggenggam benang merah itu dengan penuh rasa syukur. Ia menatap bintang-bintang di langit yang terasa lebih terang malam itu. Dalam hati, ia berbicara kepada Ibu, memohon doa dan restu untuk langkah-langkah hidupnya selanjutnya. Raka tahu, di mana pun ia berada, cinta Ibu akan selalu menuntunnya.
    Sekarang, setiap kali ia melihat benang merah itu, Raka tersenyum. Ia tahu bahwa meskipun hidup terus berjalan dan dirinya semakin jauh dari kampung halaman, ia tak pernah benar-benar sendiri. Ia menyadari, cinta ibu adalah kekuatan yang tak pernah putus, meski telah berlalu dan tersembunyi di balik jarak dan waktu. Cinta itu tidak menuntut untuk dibalas, hanya meminta untuk dikenang.Â
Dari benang merah itulah, Raka belajar untuk menghargai segala pengorbanan tanpa pamrih seorang ibu yang senantiasa menginginkan kebaikan bagi anak-anaknya. Betapa cintanya seorang ibu adalah pelita yang takkan pernah padam, memberi kehangatan dan menuntunnya menuju masa depan.