Dalam beberapa tahun terakhir, terorisme di Filipina telah menjadi tantangan serius yang tidak hanya mempengaruhi keamanan nasional, tetapi juga stabilitas regional. Antara tahun 2011 hingga 2013, negara ini mengalami lonjakan aktivitas teroris yang melibatkan kelompok-kelompok seperti Abu Sayyaf dan MNLF. Dalam konteks ini, peran ASEAN sebagai organisasi regional menjadi sangat penting. Bagaimana ASEAN berupaya menangani ancaman terorisme yang meresahkan ini? Melalui kerjasama multilateral, pertukaran intelijen, dan inisiatif keamanan bersama, ASEAN berusaha untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman di kawasan. Artikel ini akan menganalisis strategi dan langkah-langkah yang diambil oleh ASEAN dalam menghadapi terorisme di Filipina selama periode krusial tersebut, serta dampaknya terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara
MNLF
MNLF didirikan pada tahun 1972 oleh Nur P. Misuari dengan tujuan untuk memisahkan diri dari Filipina dan membentuk negara independen bagi bangsa Moro. MNLF mengklaim sebagai representatif dari Bangsamoro dan berupaya untuk menjamin hak-hak serta keamanan penduduk non-Muslim di wilayah tersebut. Meskipun MNLF terlibat dalam negosiasi dengan pemerintah Filipina, mereka tetap melakukan aksi kekerasan untuk mencapai tujuan politik mereka, yang sering dianggap sebagai tindakan terorisme oleh pemerintah dan pihak lain.
Abu Sayyaf Group (ASG)
ASG muncul pada tahun 1991, dibentuk oleh Abdurajak Janjalani, seorang mantan anggota MNLF. ASG dikenal sebagai kelompok paling radikal di Filipina Selatan, terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan termasuk penculikan, pengeboman, dan penyanderaan. Mereka sering meminta uang tebusan dan tidak ragu untuk menggunakan kekerasan ekstrem, seperti pemenggalan kepala sandera. ASG telah ditetapkan sebagai organisasi teroris baik oleh PBB maupun pemerintah Filipina, dan memiliki hubungan dengan jaringan teroris internasional seperti Al-Qaeda.
Latar Belakang
Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap munculnya terorisme oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf Group (ASG) di Filipina dapat dipahami melalui konteks sosial, politik, dan sejarah yang kompleks. Pertama, marginalisasi politikmenjadi salah satu penyebab utama; masyarakat Moro merasa terpinggirkan dalam sistem politik Filipina yang didominasi oleh kelompok Kristen Khatolik, menyebabkan mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan hak-hak politik. Selain itu, ketidakpuasan sosial dan ekonomi juga berperan penting, di mana ketidakadilan dalam distribusi sumber daya dan kesempatan ekonomi di Mindanao menimbulkan frustrasi yang mendalam di kalangan penduduk Muslim, mendorong mereka untuk mencari jalan keluar melalui kekerasan.
Selanjutnya, pengaruh sejarah turut memperkuat kondisi ini. Sejak kedatangan Spanyol pada abad ke-16 hingga dominasi Amerika Serikat, masyarakat Moro telah berjuang melawan penindasan dan kehilangan identitas budaya mereka. Proses kolonialisasi yang panjang ini menciptakan luka sejarah yang mendalam dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat Filipina. Dalam konteks ini, MNLF dan ASG muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan tersebut, dengan masing-masing memiliki tujuan dan metode yang berbeda dalam perjuangan mereka untuk kemerdekaan dan pengakuan hak-hak masyarakat Moro.
Peran ASEAN Melalui ACCT
Peran ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) dalam menyelesaikan terorisme di Filipina antara tahun 2011 hingga 2013 sangat signifikan, meskipun tantangan tetap ada. Berikut adalah beberapa aspek penting dari peran ACCT dalam konteks ini:
- Kerangka Hukum dan Normatif
ACCT, yang diratifikasi pada tahun 2007, memberikan kerangka hukum yang kuat bagi negara-negara anggota ASEAN untuk berkolaborasi dalam menangani ancaman terorisme. Konvensi ini menetapkan norma-norma dan pedoman untuk penanganan terorisme, termasuk definisi tindakan teroris dan prosedur penegakan hukum yang harus diikuti oleh negara-negara anggota. Filipina, sebagai salah satu negara yang meratifikasi konvensi ini, mengadopsi Human Security Act 2007 sebagai landasan hukum untuk menangani kasus terorisme.
- Peningkatan Kapasitas
Selama periode tersebut, ACCT berperan dalam menyediakan pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi aparat penegak hukum di Filipina. Program-program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi ancaman terorisme, termasuk teknik investigasi dan penanganan situasi krisis. Hal ini mencakup pelatihan tentang kontra-radikalisasi dan rehabilitasi bagi mantan pelaku terorisme.
- Kerjasama Regional
ACCT mendorong kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN dalam berbagi informasi intelijen dan pengalaman terkait penanganan terorisme. Melalui forum-forum yang diselenggarakan oleh ASEAN, SOMTC dan AMMTC, negara-negara dapat mendiskusikan strategi dan praktik terbaik dalam mengatasi ancaman terorisme yang bersifat lintas batas. Ini sangat penting mengingat banyaknya kelompok teroris di Filipina yang memiliki hubungan dengan jaringan internasional.
Efektivitas ACCT Dalam Menangani Terorisme
Faktanya, ACCT belum bisa dikatakan efektif dalam memerangi terorisme, khususnya pada kasus Filipina tahun 2011-2013. Hal tersebut ditujukan dari adanya peningkatan kasus-kasu terorisme di wilayah Filipina pada tahun-tahun berikutnya. Kondisi tersebut disebabkan karena beberapa hal seperti problem malignancy atau permasalahan yang tidak kunjung selesai. Hal tersebut berkaitan dengan adanya pertumbuhan kekuatan di jaringan teroris dan operasional. Selanjutnya, ialah faktor problem solving capacity yang mana merupakan kapasitas dari penyelesaian masalah. Yang terakhir ialah rendahnya level colaboration antar negara-negara anggota ASEAN. Pandangan negara ASEAN terhadap terorisme kurang dan cenderung tidak selaras.
Daftar Pustaka
Namora Giuliani. (2016). PERAN ASEAN CONVETION ON COUNTER TERORISM DALAM PENANGANAN TERORISME DI FILIPINA PERIODE 2011-2013.
Ansori , Pardomuan (2018) Peran ASEAN Convention on Counter Terrorism dalam Menanggulangi Terorisme di Asia Tenggara. Undergraduate thesis, Faculty of Social and Political Science.