"Matilah engkau mati, Kau akan lahir berkali-kali". Kutipan tersebut menjadi salah satu ciri khas dari buku bergenre historical fiction paling fenomenal di Indonesia beberapa tahun belakangan ini. Novel berjudul Laut Bercerita yang terbit di tahun 2017 ini masih menjadi jajaran best seller hingga kini.Â
Ditulis oleh Leila Salikha Chudori atau yang akrab disapa Leila S. Chudori, seorang penulis dan kritikus film yang lahir di Jakarta, 12 Desember 1962. Berbagai macam karyanya santer terdengar bukan hanya di Indonesia melainkan negara-negara tetangga. Sebut saja, kumpulan cerpen yang berjudul 9 dari Nadira yang diterbitkan pada tahun 2009 dan berhasil mendapatkan penghargaan dari Badan Belanda. Ia juga berhasil menerbitkan novel berjudul Pulang di tahun 2012 yang kini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dan Italia. Karirnya di dunia kepenulisan terus berlanjut hingga menerbitkan Laut Bercerita yang juga berhasil mendapat penghargaan "Book of The Year" dari IKAPI Awards dan diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul The Sea Speaks His Name.Â
Novel Laut Bercerita hadir dengan membawa tema mengenai perjuangan aktivis di masa pemerintahan Orde Baru. Kala itu, masyarakat Indonesia hidup dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang otoriter. Pers dibungkam, suara rakyat tidak didengarkan, dan mereka yang berani bicara akan dibungkam. Novel ini mengisahkan tokoh utama bernama Biru Laut, seorang aktivis dari jurusan Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada yang bergabung dengan organisasi Wirasena. Organisasi ini berdiri sebagai wadah para mahasiswa bertukar pikiran mengenai banyak hal, mulai dari berdiskusi soal buku-buku terlarang seperti buku garapan Pramoedya Ananta Toer, hingga merencanakan pergerakan-pergerakan untuk melakukan aksi protes terhadap kepemimpinan Orde Baru yang dinilai tidak demokrasi.
Biru Laut, yang akrab disapa Laut, turut tergabung dalam aksi-aksi yang progresif bersama organisasi tersebut. Ditemani dengan teman-teman yang sevisi serta kekasih yang juga sepemikiran, Laut lantang menyuarakan harapan hidup dalam demokrasi. Hingga suatu hari, aksi Laut dan rekan-rekannya tercium oleh pemerintahan yang kemudian menyebabkan mereka diculik, disiksa, dan menghilang tanpa jejak. Leila dengan apik mampu menggambarkan bagaimana mencekamnya kondisi kala itu, ketika mereka menghadapi berbagai macam jenis penyiksaan hanya agar membuka mulut dan memberi kesaksian, hingga kesadaran bahwa kematian datang secara bergilir.Â
Buku ini dibagi menjadi dua bagian, dimana bagian pertama merupakan sudut pandang Laut mengenai perjuangannya serta rekan-rekannya sebagai aktivis, sedangkan bagian kedua merupakan sudut pandang dari Asmara Jati, adik kandung Laut, yang akan menuturkan bagaimana kehidupannya beserta keluarga selepas kehilangan Laut yang tiada kabar. Pembaca akan dibawa menyelami bagaimana sejarah kelas bangsa kala itu, bagaimana perasaan dan usaha-usaha keras dari keluarga yang dihilangkan untuk mendapat keadilan, dan bagaimana usaha-usaha keras untuk mendapatkan demokrasi kembali ke bumi Pertiwi.Â
Isi buku ini terasa semakin nyata karena Leila melakukan riset secara mendalam dengan bertemu para aktivis 98 yang berhasil kembali dari penculikan. Melalui kesaksian mereka, Leila membentuk karakter-karakter pada buku Laut Bercerita. Latar tempat, perjuangan aktivis, serta perjuangan keluarga memperoleh keadilan juga ditulis berdasarkan kesaksian mereka yang selamat. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pembaca tidak kesulitan dalam merasakan atmosfer kehidupan dari buku ini.Â
Hingga saat ini, buku Laut Bercerita telah memiliki film pendek berdurasi kurang lebih 30 menit dengan menggandeng aktor dan aktris ternama, seperti Reza Rahadian sebagai Biru Laut, Ayushita sebagai Asmara Jati, dan Dian Sastrowardoyo sebagai Anjani yang merupakan kekasih Biru Laut. Meski begitu, film pendek ini tidak ditayangkan secara massal, melainkan diadakan kegiatan nonton bersama yang diinfokan langsung oleh Leila selaku penulis.
Buku ini banyak memberikan kesadaran bagi pembacanya bahwa ada perjuangan yang harus dibayar mahal untuk memperoleh kehidupan demokrasi seperti saat ini. Ada nyawa yang hilang dan ada keluarga yang ditinggalkan tanpa jejak agar kita semua dapat hidup tanpa tekanan yang otoriter. Maka, meski mereka telah mati, maka kenangannya akan lahir berkali-kali dan meski mereka telah mati, sosoknya akan lahir berkali-kali.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H