Memang, sudah seharusnya pemerintah harus kuat jika mendapat kritikan dari rakyatnya. Karena, kepada siapa lagi rakyat bisa menggantungkan hidupnya?
--
Buat saya, memahami sejarah bukan hanya soal bagaimana perjuangan pelik bangsa Indonesia dari zaman dijajah hingga mengisi kemerdekaan.
Melainkan memahami karakter semua orang yang menginginkan kekuasaan penuh terhadap rakyat. Setalah saya pahami, bahwa pada intinya beberapa karakter pemimpin pada awalnya memang ingin mengambil hati rakyat dengan cara apa pun. Dan pada akhirnya hanya untuk "menindas" rakyat demi menjalankan kepentingannya semata.
Yang saya tangkap adalah saat Indonesia sudah mendapatkan kemerdekaan atas negerinya sendiri, setelah dijajah oleh negara asing, pada saat itu "pembunuhan" atau menghilangkan nyawa seseorang adalah hal yang masih lumrah. Menghilangkan nyawa seseorang atau segerombol orang acapkali dilakukan saat "korban" tersebut terdeteksi sebagai "ancaman" untuk pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu.
Seperti halnya pemberontakan yang dilakukan oleh PKI, kebencian dalam hati masyarakat pun timbul dengan sangat mudah dan cepat atas penculikan dan pembunuhan sadis terhadap kelompok ulama dan beberapa jendral saat bangsa Indonesia sedang menikmati kemerdekaan setelah tahun 45.Â
Hal tersebut kemudian diiringi dengan pembunuhan massal terhadap PKI serta antek-antek komunisnya. Saya yakin untuk masyarakat yang mengutuk perbuatan PKI saat itu adalah hal yang wajar jika dilakukan "pembersihan" gen komunis, demi kemanan dan ketentraman. Nyatanya, yang membuat miris adalah bagaimana orang-orang "terpidana komunis" tersebut disiksa dan dibantai secara kejam dan diperlakukan seperti binatang yang siap dipotong hidup-hidup.
Lalu apa kaitannya dengan model dismiss peoplepada saat ini? Tak perlu ancaman dibayar dengan nyawa, cukup kriminalisasikan, atau penjarakan saja orang-orang tersebut. Tak perlu ada pertumpahan darah dan saling berbalas dendam. Tapi yakinlah, seseorang yang jasanya besar untuk negara akan selalu dikenang oleh bangsanya sendiri. Meskipun semasa hidupnya, ia tidak pernah diistimewakan atau malah "dibuang".
Dari buku "GIE dan Surat-Surat yang Tersembunyi" yang diterbitkan oleh Tempo, saya baru menyadari bahwa apa yang ditakutkan oleh Soe Hok Gie, justru menjadi sebuah ramalan dan kenyataan yang akhirnya terjadi. Seperti contohnya, ia sangat tidak setuju dengan pembantaian terhadap PKI, karena justru akan menimbulkan polemik lain.
Memang, ia sangat berani mengungkapkan apa pun yang ada di pikirannya tentang keadaan politik Indonesia pada saat itu. Tapi sayang, hidup yang dimilikinya tidak lama. Dengan tulisan-tulisan yang ia buat semasa hidup, akhirnya semua orang bisa mengenang dan belajar banyak darinya. Termasuk saya sendiri.