Belakangan ini, Istilah Cancel Culture banyak digunakan serta diperbincangkan di platform media sosial dan Industri hiburan. Banyak warganet dari berbagai negara yang menerapkan Cancel Culture. Â Khususnya di dunia hiburan, pertelevisian, hingga media sosial guna memilah sosok publik figur yang baik untuk dijadikan role model serta mewujudkan tontonan acara televisi yang berkualitas dengan tokoh tokoh yang berlatar belakang positif.
Bagi seorang Selebriti atau artis yang berkecimpung di Industri hiburan, menonjolkan citra diri yang baik sangat penting untuk menginspirasi orang melakukan hal-hal positif. Masyarakat seringkali menaruh ekspektasi tinggi pada nilai moral dan etika terhadap selebriti. Jadi, jika seorang selebriti memiliki citra diri yang buruk, publik akan segera memboikot untuk mencegah mereka menjadi lebih populer atau bahkan untuk memastikan mereka tidak makin naik daun di media karena dianggap menjadi pengaruh buruk bagi masyarakat. Bahkan, selebriti yang diboikot juga tidak lagi banyak diundang ke acara televisi atau memiliki project drama dan film, karena dinilai tidak layak dan berkelakuan buruk.
Cancel Culture sendiri dapat dipahami sebagai suatu budaya ostrasisme modern atau boikot, dimana seseorang akan diabaikan dan dikucilkan dari lingkaran sosial, baik di media sosial maupun dunia nyata. Pemboikotan ini juga bisa didasarkan pada perilaku ofensif yang menyimpang atau tidak menyenangkan bagi suatu individu atau kelompok masyarakat lain, seperti perselingkuhan, bullying, Drive Under Influence (DUI), penipuan, pelecehan seksual, hingga suap. Cancel culture bisa dibilang menyuwir atau merugikan karir cemerlang kalangan selebriti khususnya bagi mereka yang sedang naik daun. Seperti Selebriti atau artis KPOP Ravi yang berusaha menguntungkan dirinya dengan menggunakan jasa calo dan terlibat korupsi demi menghindari wajib militer. Hal serupa juga menimpa Kris Wu, seorang artis kelahiran Guangzhou, Tiongkok. Mantan anggota boygroup EXO ini diboikot oleh para netizen karena telah melakukan pemerkosaan anak dibawah umur.
Selain itu, Warganet korea selatan atau yang biasa disebut Knetz juga memboikot aktris Korea Selatan Kim Sae Ron. Aktris yang disebut-sebut akan menjadi pemain drama baru pada 2022 itu diboikot karena kasus mengemudi dibawah pengaruh alkohol atau Drive Under Influence (DUI). Akibat kecerobohannya itu, Kim Sae Ron menabrak pembatas jalan, trafo, dan pohon. Kim Sae Ron baru-baru ini mengakui bahwa dirinya sedang berjuang secara finansial, tetapi Kim Sae Ron didapati menyewa pengacara top untuk mengawal kasusnya. Knetz yang sudah muak dengan segala macam pengakuan palsu dari Kim Sae Ron akhirnya mengabaikannya dan tidak memperhatikannya lagi, hal tersebut dilakukan agar Kim Sae Ron tidak menjadi terkenal dan semakin mendapat perhatian media.
Cancel culture membawa berbagai dampak yang berbeda di berbagai negara. Di Korea Selatan, memboikot artis dengan citra buruk akan menciptakan acara berkualitas serta memberi peluang untuk semakin terkenalnya publik figur lain yang bertalenta tanpa latar belakang yang buruk. Namun, Cancel culture juga berdampak negatif terutama pada individu yang diboikot. Munculnya informasi yang beredar dengan cepat namun tidak valid atau bertentangan dengan kebenaran, bisa menjadi dasar atas tindakan masyarakat yang terlalu terburu-buru untuk memutuskan bersalahnya seseorang atau tidak.
Di Indonesia sendiri, Cancel Culture belum diterapkan secara efektif seperti di Korea Selatan. Banyaknya artis yang tetap tampil di acara-acara televisi Indonesia meski memiliki citra buruk menjadi bukti nyata bahwa cancel culture belum banyak dikenal dan diterapkan di pertelevisian serta warganet Indonesia. Artis atau publik figur yang memiliki citra buruk, seperti masalah atau bahkan skandal, kerap diundang ke berbagai acara televisi. Karena itu, acara televisi di Indonesia cenderung hanya berisi sensasi dan gosip yang belum pasti kebenarannya. Bahkan, Beberapa publik figur yang memiliki kasus perselingkuhan justru masih kerap muncul di beberapa sinetron dan film. Seorang pemeran film Like & Share yang diberitakan dengan kasus perselingkuhan dan playing victim. Arawinda Kirana dituding sebagai orang ketiga dalam hubungan rumah tangga. Hal ini menuai beragam kontroversi dan reaksi dari netizen Indonesia karena segera setelah beredar rumor bahwa Arawinda dituding sebagai orang ketiga dalam suatu hubungan rumah tangga, netizen Indonesia sempat memboikot dan menolak untuk menonton penayangan film Like & Share di Bioskop.
Netizen Indonesia sebagian beranggapan bahwa film adalah seni dan sama sekali tidak berkaitan dengan bagaimana latar belakang aktor atau aktris yang berperan di film like & share tersebut. Maka dari itu, mereka tetap menonton film tersebut di masa penayangannya. Sebagian lagi beranggapan jika menonton film tersebut sama saja memberikan peluang Arawinda untuk semakin naik daun dan akan menguntungkan bagi Arawinda sendiri karena filmnya akan memiliki rating bagus serta akan populer di kalangan masyarakat. Mereka percaya dengan tidak menonton film dengan Like & Share tersebut akan membawa pengaruh baik bagi pertelevisian Indonesia karena akan mengurangi atau bahkan tidak berkolaborasi lagi dengan artis-artis yang memiliki citra buruk yang dirasa tidak cocok dengan  nilai moral dan etika di masyarakat terhadap publik figur.
Beragam komentar netizen Indonesia itu juga menunjukan bahwa sifat permisif dan standar ganda pada publik figur indonesia lebih dominan mengendalikan masyarakat daripada berperilaku selektif terhadap seorang publik figur yang dikenal luas oleh masyarakat umum. Yang mana seharusnya seorang selebriti atau publik figur menjadi seseorang yang patut menjadi panutan dan sebagai seorang teladan di kancah nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H