Kanker merupakan sebuah penyakit yang terjadi karena pertumbuhan tidak normal pada sel-sel jaringan dalam tubuh, dengan penyebaran tidak terkendali dan cepat untuk membentuk sel-sel kanker lainnya (National Cancer Institute, 2017). Sel-sel kanker tersebut menekan, menyerang dan menembus jaringan dalam tubuh sehingga dapat memberikan dampak buruk bagi organ tubuh. Hasil dari riset yang dilakukan oleh Organisasi Global Studi Kanker (Globocan) pada tahun 2018 mencatat bahwa terdapat 9,6 juta kematian dari 18,1 juta kasus kematian disebabkan oleh kanker (Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2019).
Sedangkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memaparkan bahwa terdapat 396.914 kasus kanker di Indonesia dengan total kematian sebanyak 234.511 kasus pada tahun 2020 (Handayani, 2022). Posisi tertinggi ditempati oleh kanker payudara dengan 65.858 atau 16,6% dari 396.914 total keseluruhan kasus kanker. Kanker serviks menempati pada posisi kedua dengan jumlah kasus sebesar 36.633 atau 9,2%. Disusul oleh kanker paru-paru di posisi ketiga dengan 34.783 atau 8,8%, selanjutnya adalah kanker hati dengan 21.392 atau 5,4%, dan yang terakhir adalah kanker nasofaring dengan 19.943 kasus atau 5% dari jumlah keseluruhan kasus di Indonesia (Rizaty, 2021).
 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa ada beberapa gejala-gejala umum penyakit kanker yang dapat dilihat dan diketahui, diantaranya adalah gangguan pada saat buang air kecil atau besar, sulit untuk menelan makanan, terganggunya alat pencernaan, timbulnya benjolan di payudara atau tempat lain, keluarnya darah atau lendir yang abnormal, dan batuk yang tak kunjung sembuh (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019). Kanker pun dapat disebabkan karena terjadinya mutasi atau perubahan DNA pada sel di dalam tubuh, mutasi yang terjadi ini dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya. Kanker juga dapat timbul setelah kelahiran yang diakibatkan oleh faktor di lingkungan sekitar (Selchick, 2022).  Untuk itu penanganan yang benar bagi  para penderita kanker sangat diperlukan, walaupun dalam penanganannya para penderita kanker cenderung akan merasakan stres yang dapat mempengaruhi kondisi fisik maupun psikisnya (Anand dkk., 2008).
Janet M. de Groot pada 2007, melakukan penelitian yang relevan dengan pernyataan di atas menghasilkan pernyataan bahwa kanker dapat memengaruhi kondisi mental bagi para penderitanya berupa distress atau tertekan (de Groot dkk., 2007). Kondisi tersebut juga dibagi menjadi tiga bentuk respon emosional yang timbul pada pasien kanker seperti depresi, penolakan, dan kecemasan. Respon berupa kecemasan merupakan hal yang umum terjadi ketika seseorang terdiagnosis kanker, dan akan memengaruhi kondisi psikologisnya, seperti motivasi untuk sembuh dan juga emosi para pasien penderita kanker (de Groot dkk., 2007).
Motivasi merupakan rangkaian dari sebuah tahap yang memengaruhi arah,  kekuatan, serta ketekunan perilaku agar berada sesuai dengan arah dan tujuan  (Passer & Smith, 2004). Para penderita kanker memerlukan motivasi untuk melawan penyakitnya. Faktor dari motivasi tersebut dapat berupa dukungan, kata-kata positif, dan perhatian (Mayangsari, 2019). Selain itu, seperti yang disebutkan pada "Hierarki Kebutuhan Maslow", adanya kebutuhan akan rasa nyaman, aman, kasih sayang, kepedulian dan ketenangan akan sangat berpengaruh pada motivasi kesembuhan bagi para penderita kanker (Passer & Smith, 2004). Motivasi untuk pulih bagi para penderita kanker pun akan muncul jika situasi dan kondisi psikologis tersebut terpenuhi, seperti emosi positif yang menstimulasi para penderita kanker untuk melakukan perbuatan dan memberikan kekuatan untuk dirinya agar tujuan untuk sembuh tercapai (Mayangsari, 2019).
Emosi positif merupakan salah satu bentuk emosi dari keadaan perasaan yang memengaruhi pola kognitif, fisiologi, dan reaksi terhadap suatu peristiwa sehingga menimbulkan suatu perilaku (Passer & Smith, 2004). Beberapa emosi ada sebagai penanda seperti alarm yang merupakan petunjuk dari sistem dorongan untuk meningkatkan peluang bertahan hidup, seperti ketika dihadapkan pada situasi berbahaya dan mengancam (Passer & Smith, 2004). Hal tersebut juga memiliki keterkaitan antara emosi dengan penderita kanker dan dapat ditunjukkan dari beberapa perasaan yang umum untuk muncul. Seperti, emosi positif berupa kepuasan, cinta, dan kegembiraan yang sangat diperlukan untuk menangkal emosi negatif pada para penderita kanker. Emosi negatif tersebut adalah penolakan atau penyangkalan ketika terdiagnosa penyakit tersebut, perasaan takut, marah, stres, kesedihan, dan depresi (Canhope, n.d.).
Seorang ahli teori dalam bidang emosi, Richard Lazarus, (2001) meyakini bahwa motivasi dan emosi akan selalu terkait, karena reaksi secara emosional hanya akan muncul ketika adanya motif, tujuan, dan kepuasan dari motivasi. Contohnya adalah para penderita kanker yang lebih rawan untuk mengalami penurunan motivasi pada saat mengetahui teman sebaya yang mereka miliki meninggal dan mereka pun merasa kehilangan harapan, sehingga membuat pasien tersebut cemas akan apa yang terjadi pada dirinya pada masa mendatang (Khamechian dkk., 2013). Hal tersebut juga dapat berimbas pada proses pemulihan pasien, seperti mogok  meminum obat maupun melakukan kemoterapi (Mayangsari, 2019). Oleh karena itu, tindakan psikologis yang positif perlu dilakukan sejak dini,  karena melalui tindakan tersebut akan membuat motivasi dan emosi penderita kanker menjadi baik, sehingga proses penyembuhan pun dapat berlangsung dengan lancar (Mayangsari, 2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H