Sejauh ini, selama aku hidup, banyak sekali masalah yang ku hadapi, mulai dari masalah pergaulan, akademis, percintaan, keluarga, himpitan ekonomi, kebengisan kaum borjuis, hingga ketidakadilan yang terus menimpa diriku. Mungkin bukan hanya aku yang memiliki segudang kegelisahan, mungkin juga, masalahku adalah partikel kecil dari luasnya samudra lautan bagi Anda atau orang lain.
Ya, Alhamdulillah sampai saat ini aku masih mampu bertahan. Tidak seperti beberapa orang belakangan ini, yang mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya, yakni meminum racun, dan bunuh diri. Namun secara logika, apakah dengan bunuh diri masalah akan selesai? Tentunya malah menambah masalah, belum lagi azab yang diterima? Nauzubillah, jangan sampai seperti itu.
Banyak hal yang membuatku untuk selalu bertahan hidup di tengah terpaan badai masalah yang selalu menghantam. Salah satunya, dan yang menurutku paling ampuh, ialah dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Tanpa cinta mereka, mungkin aku sudah gila, ataupun mati konyol, bunuh diri!
Terkadang, suatu kesalahan kita adalah, memaknai ibadah dengan “takut” bukan “cinta” kepada-Nya. Takut akan azab neraka, takut akan dosa, dan lainnya. Ya, memang takut mampu memotivasi kita untuk berbuat lebih baik. Namun, menurutku takut berada di barisan kedua, ataupun ketiga, tentunya setelah cinta. Ya, dengan cinta kita mampu menghargai dan menyayangi orang lain.
Rasionalisasinya, apa yang akan Anda perbuat terhadap wanita yang Anda cintai? Tentunya Anda akan melakukan apapun agar kekasih hati Anda tidak kecewa dengan Anda. Bahkan sering terucap, “Jika aku memiliki sayap, aku akan terbang ke langit, membawakan bulan untukmu!” Ya memang, kita sering dibutakan oleh cinta semu, yang membuat cinta kita kepada kekasih, melebihi cinta kita kepada Allah, Sang Maha Tunggal, pemilik tubuh lemah ini. Padahal Allah selalu mencintai kita setiap saat, tapi kita malah sering melupakan segala kenikmatan yang telah dipinjamkan-Nya kepada kita.
Allah selalu membuka pintu bagi para hamba-Nya yang selalu ingin dekat dengannya. Tanpa mengenal status, jabatan ataupun siapa ayahmu. Ya, sekali lagi, kita-nya saja yang salah, selalu menolak lamaran cinta-Nya Allah. Coba bayangkan, jika Allah mencintai kita, apapun akan diberikan kepada kita, agar kita selalu dekat dengan-Nya. Seperti, kekasih Allah, Muhammad SAW yang diberikan kewengan atas kemustajaban doa dan ucapan-Nya. Tentunya kita tidak bisa sempurna Nabi Muhammad, namun setidaknya kita harus menggapai cinta-Nya Allah walaupun seujung kuku. Apakah kita tidak bisa?
Pertanyaan besar terhunus kepadaku, “Dengan apa?”
Salah satunya, dengan membaca dan menjawab surat cinta-Nya, ingatkah kalian 14 abad lalu Allah mengirimkan surat cintanya bagi hamba-Nya melalui Muhammad SAW? Maka ambillah dan jawablah surat cinta-Nya itu, maka Ia pun akan luluh dengan kita. Walaupu Allah juga memiliki hari pembalasan, namun sesungguhnya cinta dan kasih sayangnya Allah melebihi murka-Nya. Maka lantunkanlah surat cinta dari-Nya. Sesungguhnya di dalam surat cinta-Nya itu terdapat segala petunjuk yang menuntun kita kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
[caption id="attachment_263861" align="alignnone" width="200" caption="Teriaklah, Panggilah Nama-Nya!"][/caption]
Disaat aku gundah, aku terjatuh dan aku terjerembab dalam lubang kemaksiatan dan terjerembab lagi. Maka tak henti-hentinya selalu ku panggil nama-Nya, mencurahkan isi hati kepadanya. Maka air mata ini pun luluh dengan kecintaan terhdap-Nya, mengalir ikhlas tanpa paksaan dan mengalir lembut tanpa dorongan. Bahkan seorang lelaki gagah, pemenang juara olahraga sekalipun akan luluh dengan mengingat cinta dan keagungan Dirinya.
Taubat, mungkin salah satu solusinya. Ya, menurutku tobat merupakan salah satu refleksi dari cinta kita kepada Allah. Dengan bertaubat Insya Allah kita akan menjadi fitrah kembali. Namun, melihat sisi manusia yang tak pernah luput dari kekhilafan terkadang membuat kita frustasi dengan taubat kita sendiri, sehingga memilih jalan pintas yang ngawur. Lalu, apakah dengan melihat sisi manusia, lantas kita enggan untuk bertaubat, dengan dalih “Nanti saja kalau sudah tua!” atau, “Ah saya sudah bosan bertaubat, nanti juga saya terjerumus kembali ke dalam lubang yang sama!”