Oleh: Faqih Muhammad
Literature: Pendidikan Nasional dan Reformasi Politik dan Kemasyarakatan
: Anita Lie, J.C. Tukiman Taruna Sayoga Dkk.
Kemerosotan mutu pendidikan formal di Indonesia seperti ditunjukkan dalam berbagai data survey tingkat internasional seperti TIMSS dan Indeks Pembangunan Manusia tidak terlalu mengejeutkan jika kita mengikuti perkembangan pendidikan di Indonesia. Berita mengenai ambruknya bangunan sekolah dan anak putus sekolah di berbagai media massa makin memperhatinkan. Fakta ini hanya sebagian dari sekian banyak permasalahan yang menghantui dunia pendidikan anak-anak kita. Potret kemiskinan dalam pendidikan di Indonesia menjadi semakin buram dengan pemberitaan mengenai tindakan kekerasan (fisik, emosional, ataupun verbal) terhadap anak yang dilakukan oleh guru di sekolah. Pada sisi yang lain, sebagian besar masyarakat juga bersikap tidak peduli dan kurang menyadari peran mereka dalam upaya memajukan pendidikan anak bangsa.
Dalam kerangka peningkatan mutu, satu permaslahan fundamental dalam system pendidikan nasional adalah dehumanisasi pendidikan. Seharusnya pendidikan, menghormati dan menghargai martabat manusia beserta dengan segala hak asasinya. Peserta didik seharusnya tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subyek melalui proses pendidikan. Akan tetapi yang sedang terjadi justru sebaliknya.
Kekurangsadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan merupakan fenomena pedang bermata dua. Seperti pada APBN dan APBD. Anggaran rumah tangga untuk pendidikan dalam kebanyakan keluarga di Indonesia masih sangat rendah. Di satu sisi, fenomena ini menunjukkan ketidakberdayaan masyarakat dalam banyak hal. Peran structural Negara dalam banyak hal terkait dengan system pendidikan nasional sedemikian kuatnya sehingga mengikis peran cultural masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat kurang peduli terhadap pendidikan. Pada sisi yang lain, fenomena ini bisa jadi bentuk dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap signifikansi pendidikan dalam perubahan kualitas hidup. Proses yang terjadi di sekolah dianggap sebagai sebuah formalitas ritual yangberkisar dari majemukan sampai dengan menyiksa anak namun perlu dilakukan agar mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintahberupa ijazah untuk memasuki jenjang selanjutnya. Sekolah hanya dianggap sebagai lembaga pemberi ijazah. Bagi keluarga miskin, harga yang harus mereka bayar untuk membeli ijazah ini terlalu mahal sehingga putus sekolah merupakan konsekuensi logis. Sedangkan bagi keluarga yang mampu secara financial biaya minimal untuk mengikuti formalitas pemerolehan ijazah direlakan asal tidak terlalu menggerogoti anggaran rumah tangga. Di beberapa sekolah swasta yang tidak menetapkan uang sumbangan uang masuk yang sama kepada setiap siswa, proses tawar-menawar seperti layaknya terjadi dipasar tradisional, antara orang tua, wali dengan penetian penerimaan siswa baru merupakan ritual rutin yang mengawali proses pendidikan anak disekolah tersebut. Ketidakrelaan orang tua untuk membayar biaya pendidikan sebesar yang seharusnya mareka tanggung ini menunjukkan rendahnya kepedulian warga masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka sendiri. Biaya yang lebih besar sebetulnya dianggarkan untuk pendidikan non-formal (les pelajaran, music, seni, sanggar, dan sebagainya).
Yang menggembirakan sekolah-sekolah alternative di prakarsai lembaga-lembaga swadaya masyarakat didirikan untuk menampung anak-anak miskin yang sudah tidak bisa diakomodasi secara optimal disekolah-sekolah formal. Peran serta masyarakat ini memang masih bersifat sporadic dan belum cukup memadai dibandingkan besarnya permasalahan kemiskinan dan pendidikan dan masih perlu diuji komitmennya dengan waktu.
Ditingkat masyarakat kelas menengah ketidakpercayaan public terhadap mutu system pendidikan nasional telah muncul ke permukaan dalam bentuk-bentuk sekolah nasional plus, seni internasional, dan asing yang menggunakan kurikulum yang di beli atau diadopsi dari luar negeri. Ada pula keluarga-keluarga yang memberikan proses pendidikan bagi anak-anak mereka homeschooling (sekolah di rumah sendiri dengan orang tua sebagai guru).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H