Pada abad ke-21 ini, kita masuk ke dalam era globalisasi, di mana tidak ada batasan lagi antar negara di seluruh dunia. Saat ini, negara-negara di dunia telah terikat hubungan sehingga tercipta suatu ketergantungan, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya, dan masih banyak lagi aspek dalam kehidupan. Globalisasi menjadi hal yang membawa dampak dan pengaruh bagi negara, baik dampak positif maupun dampak negatif.
Indonesia sebagai negara dengan salah satu jumlah penduduk tertinggi tentunya berpeluangan besar akan munculnya permasalahan kependudukan yang cukup serius, misalnya penyebaran penduduk yang tidak merata (contoh pulau Jawa yang lusanya hanya 5 % dari luas wilayah Indonesia ditempati penduduk lebih dari 60 % dari jumlah penduduk Indonesia) yang terkonsentrasi di perkotaan., akibatnya banyaknya pengangguran , pendidikan rendah dan masalah-masalah social yang lain.
Dari semua dampak negatif yang ditimbulkan oleh era globalisasi khusunya di Indonesia, terdapat satu dampak yang menjadi masalah serius di negara Indonesia. Salah satu dampak tersebut adalah terjadinya kasus perdagangan manusia. Isu mengenai perdagangan manusia yang diangkat akan terus dibicarakan sepanjang waktu. Hal tersebut dikarenakan masalah mengenai perdagangan manusia sudah sangat mengakar dan membudaya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari jumlah masyarakat Indonesia yang melakukan migrasi ke daerah atau negara lain, mempunyai kerentanan yang sangat tinggi untuk menjadi korban eksploitasi manusia, salah satunya adalah trafiking (perdagangan manusia) tersebut. Human Trafiking adalah salah satu bentuk kejahatan yang terorganisir (melibatkan sendikat/jaringan) dan masuk peringkat kedua kejahatan terorganisir tingkat dunia setelah perdagangan senjata illegal, baru kemudian sendikat perdagangan narkoba dan obat-obat terlarang.
Pelaku kejahatan dalam human trafiking ini mengambil keuntungan yang sangat besar dari praktek tersebut, bahkan ada istilah yang lebih tepat dari praktek trafiking, yaitu perbudakan modern yang melanggar HAM.
Korban direkrut dari tempat tinggalnya oleh perekrut yang dikenal sebagai calo atau “sponsor” kemudian dibawa dan ditampung ditempat transit yang dijaga ketat, korban dilarang keluar dari tempat penampungan, tidak dipenuhi kebutuhan dasarnya secara baik, bahkan seringkali mendapatkan siksaan kalau tidak mengikuti perintah pengelola, baru kemudian dikirim ke tempat kerja atau daerah tujuan (dipekerjakan sesuai pesanan). Adapun beberapa tujuan dari trafficking adalah untuk prostitusi, pornografi dan pornoaksi, ekploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan, pengemisan, pengantin pesanan, jualbeli organ tubuh, kurir narkoba, Pembantu rumah tangga, dll
Faktor yang membuat seseorang menjadi rentan untuk ditrafik adalah : perempuan atau anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, orang yang mengalami krisis ekonomi karena kehilangan pendapatan, orang yang kehilangan anggota keluarganya sebagai penopang hidup dan mimpi mendapatkan gaji tinggi (cepat kaya) dari bekerja diluar daerah tanpa menyadari keterbatasan dari tingkat pendidikan maupun ketrampilan yang di miliki.
Untuk memecahkan persoalan trafiking, bukanlah perkara mudah. Akar permasalahan harus teridentifikasi secara tepat, sehingga solusi yang digunakan bisa menjawab permasalahan yang ada. Salah satu upaya pencegahan trafiking bisa dilakukan oleh multistakeholder dengan dikoordinasikan oleh Departemen Pendidikan Nasional karena tidak bisa dipungkiri bahwasanya peran institusi pendidikan sangatlah penting,
Pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah mempunyai andil yang sangat besar dan cara yang starategis dalam memerangi kasus human trafiking. Pendidikan Luar Sekolah mencoba melihat Berdasarkan kasus dan kebutuhan untuk meningkatkan keberdayaan perempuan dan anak agar tidak rentan menjadi korban trafiking. Diantara perannya yaitu Pendidikan luar sekolah berfungsi sebagai cara untuk meningkatkan kecakapan hidup atau life skill. Perlu diketahui bahwa Kemiskinan yang masih banyak terjadi diberbagai daerah di indonesia salah satunya disebabkan oleh rendahnya ketrampilan hidup seseorang dalam mendayagunakan potensi diri dan lingkungannya. Keinginan bekerja keluar daerah/negeri, mengikuti orang lain, dengan iming-iming gaji besar, selalu menjadi kesempatan bagi para trafiker untuk merekrut korban. Dengan berbekal kecapakan hidup, seseorang tidak mudah ditipu. Life skill efektif bukan hanya untuk mencegah agar seseorang tidak menjadi korban, tetapi juga bisa dilakukan untuk meningkatkan kemampuan agar korban trafiking mampu menjadi surviver dan mandiri sehingga tidak akan menjadi korban kembali. Tentunya pada penyelenggaraan pendidikan life skill ini juga harus disesuaikan dengan potensi diri dan lingkungan dari peserta belajar, terutama kelompok yang rentan menjadi korban trafiking. Misalnya dengan kecakapan hidup seseorang mempunyai kemampuan untuk menganalisa ketika ditawari pekerjaan dengan ketrampilan terbatas tapi gaji besar.
Inilah salah satu dari banyaknya peran yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan nonformal dalam mendukung pencegahan dan penanganan penghapusan tindak pidana perdagangan orang. Memang saya akui secara pribadi tidak mudah untuk menghapus persoalan perdagangan orang, akan tetapi dengan upaya yang di lakukan oleh lembaga penyelenggara pendidikan nonformal, minimal bisa mengurangi jatuhnya korban perdagangan orang.
Faqih Muhammad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H