Menerjemahkan mimpi itu adalah dengan cara merenungkan kembali bagaimana kehidupan bangsa yang toleran dapat kita ciptakan. Mengulik kembali pengalaman masa kecilku, seperti yang tertulis di awal artikel ini, sepertinya, kita yang dewasa ini perlu bertingkah macam bocah lagi. Kita yang dewasa tidak perlu malu belajar dari mereka yang masih kecil. Sebagaimana aku dan kawan-kawan kecil-ku dulu: kami sama sekali tidak memiliki pretensi negatif, sikap tengil dan rasa curiga, sekali pun jurang pemisah di antara kami terlihat jelas. Kami saling mengasihi sebagai sesama makhluk Tuhan dan manusia---jika tidak dapat saling mengasihi di bawah payung agama yang sama. Kami mungkin belum paham betul arti kata toleransi, tetapi tingkah polah lugu kami telah memupuk toleransi dengan sikap dan perbuatan. Kami paham bahwa merawat toleransi bukan hanya "act of thinking" yang diretas dalam kitab-kitab dan teks suci, melainkan juga "act of doing" yang diwujudkan dalam sikap dan tindakan sehari-hari. Belajar dari 'aku kecil', kita perlu percaya bahwa jati diri dan keyakinan kita tidak akan luntur jika harus menghargai keyakinan orang lain.
Daftar Referensi:
- Sukardi Rinakit, Tuhan Tidak Tidur (Jakarta: Kompas Gramedia, 2008), hlm. 1
- The Wahid Institute, "Lampu Merah Kebebasan Beragama", Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia, (Jakarta: The Wahid Institute, 2011), hlm.1
- BBC
- Kompas
- Okezone