Mohon tunggu...
Abdullah Faqih
Abdullah Faqih Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Tertarik dengan isu masyarakat lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari "Aku Kecil": Merenungkan Kembali Makna Toleransi

30 Juni 2021   18:31 Diperbarui: 30 Juni 2021   18:37 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Prolog

Ingatanku kembali ke masa ketika aku masih berusia enam tahun. Hidupku begitu damai. Aku tinggal di sebuah perkampungan kecil di Kota Malang. Setiap sore, aku menangkap capung, mengejar layang-layang, ngaji di mushola, dan lainnya khas bocah kampung. Waktu itu, aku bersekolah di sebuah taman kanak-kanak. Teman-temanku datang dari berbagai pulau dan suku. Mereka juga berasal dari berbagai agama: Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Sekolahku memang sengaja menerima semua siswa tanpa membedakan suku, agama, dan ras. Mereka ingin mengajari kami arti toleransi dan saling menghargai dalam perbuatan.

Setiap hari Jumat, sekolahku sengaja menyewa guru agama sesuai dengan agama yang kami anut. Aku yang beragama Islam masuk ke kelas agama Islam. Begitu juga dengan teman-temanku yang beragama Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu. Mereka masuk ke ruang kelasnya masing-masing. Setelah kelas agama usai, kami membaur lagi seperti sediakala---seolah-olah tidak ada sekat pembeda di antara kami. Siswa beragam Islam membaur dengan yang Kristen, yang Kristen membaur dengan yang Budha, yang Hindu dan Konghucu pun demikian. Lewat perbuatan semacam itu, kami diajarkan untuk menghargai keyakinan dan kepercayaan satu sama lain

Kami saling take and give, sekalipun jurang pembeda itu menganga jelas. Selepas pulang sekolah, sambil menunggu dijemput oleh orang tua, kami biasanya bermain di vihara. Pernah suatu ketika aku spontan meminum air di vihara akibat kehausan. Teman-temanku yang beragama Budha tidak sekali pun bertanya, "Mengapa kamu meminum air di vihara kami? Apa agama kamu?". Mereka justru bahagia karena memberiku minum sama seperti menerapkan ajaran sang Budha yang welas asih. Jika mengingat peristiwa itu, hatiku membiru karena haru. Persahabatan kami begitu rukun, tanpa pernah mempermasalahkan asal usul dan identitas---apalagi identitas agama.

Indonesia Negara Gagal?

Waktu terus berjalan. Sekarang, aku tumbuh menjadi anak laki-laki yang sedang beranjak dewasa. Aku tinggal di sebuah kota besar yang penuh dengan kompetisi dan persaingan. Aku sering menyaksikan orang-orang dewasa berebut sumber daya, mudah terbakar emosi, saling mengutuk, dan mendaku dirinya maha benar. Embrio-embrio itu tidak jarang berubah menjadi konflik dan kekerasan yang lebih besar.

Kita tentu mengingat peristiwa pengeboman Gereja Kathedral Makassar pada Maret 2021 silam (Kompas. 2021). Selain itu, pada 2011, terjadi pula kekejian bom di Masjid Komplek Markas Mapolres Cirebon yang mengakibatkan 30 orang kehilangan nyawa (BBC Indonesia, 2011). Kasus ini juga masih diperparah dengan aksi biadab bom Gereja Bethel Injil Supenu (GBIS) Solo yang terjadi pada tahun 2012 (Okezone, 2012). Akibat aksi amoral tersebut, dua orang jemaat gereja dinyatakan tewas, sementara 17 lainnya mengalami luka parah (ibid, 2012) .

Pada tahun 2012, The Wahid Institute juga mengkaji permasalahan intoleransi beragama dan merilis sebuah laporan yang menyebutkan bahwa ada sekitar 274 kasus intoleransi beragama yang terjadi sepanjang tahun 2012. Berdasarkan laporan media dan pemantauan lapangan, jumlah ini mengalami peningkatan dari temuan sebelumnya, yaitu 121 kasus pada tahun 2009, 184 kasus pada tahun 2010, dan 272 kasus pada tahun 2011. Fakta ini menyuratkan bahwa kasus intoleransi beragama di Indonesia masih berada di tingkat serius. Sebelumnya, permasalahan tersebut mungkin hanya mencapai tingkat peringatan merah, tetapi, hingga kini, masih belum ditemui adanya tanda-tanda perbaikan.

Kecenderungan semacam ini membuat jubah republik yang sudah kotor oleh persoalan korupsi, kemiskinan, dan pengangguran menjadi semakin kotor oleh masalah suku, agama, dan ras. Menyaksikan praktik kehidupan berbangsa yang demikian kemungkinan Indonesia menuju 'negara gagal' menjadi semakin besar. Pernyataan tersebut diamini oleh Francis Fukuyama, seorang pengamat masalah-masalah global, yang mengatakan bahwa ancaman terbesar pada abad ke-21 adalah adanya 'negara gagal' yang ditandai oleh kemiskinan, pengangguran, konflik antarkelompok, dan merebaknya aksi teror. Indonesia barangkali sedang menuju ke fase itu.

Merenungkan Makna Toleransi

Menyaksikan praktik kehidupan bernegara saat ini memang menimbulkan kekhawatiran. Kedaulatan bangsa kita mulai rapuh. Alam bawah sadar generasi muda Indonesia seolah dicekam rasa malu kepada tiga bung besar: Bung Hatta, Bung Karno, Bung Sjahrir. Mimpi tidur kita selalu dihantui pesan ketiga bung itu, "Kami wariskan sebuah Republik, kalau kamu bisa menjaganya!" (Rinakit, 2008). Kini waktunya generasi muda menerjemahkan mimpi-mimpi para bapak bangsa ini.          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun