Terlahir di sebuah kampung yang sangat erat kaitannya dengan laut, membuat saya sering kali termenung di waktu senja sambil menikmati indahnya ombak yang melipat.
Lamongan, kota yang berjuluk Joko Tingkir. Mungkin agak terdengar asing di telinga orang-orang. Tapi tau kah bahwa warung Lamongan telah tersebar di mana-mana. Warung emperan berspanduk putih dengan pinggiran hijau dan bergambar ayam, lele, bebek, dan ikat. Menu andalan adalah: pecel lele, pecel ayam, tempe penyet, dll. Ketika rindu menyerbu, maka tempat seperti itulah yang dituju.
Kisah nakal waktu belia, hingga tobat di waktu remaja, selalu saja tergambar jelas di kepala. Mengisi waktu bersama teman-teman ke sawah. Mencari buruan binatang dan buah. Bercanda ria hingga saling melempar tanah. Pulangnya tinggal baju kotor dan basah. Yang tersisa adalah kena marah.
Masa remaja telah tiba. Ketika HP datang secara tiba-tiba, segalanya telah berubah. Tak ada lagi petualangan. Tak ada lagi buruan. Tak ada lagi kelereng di sore hari. Semua orang mulai diam di tempat ditemani oleh kotak elektronik itu. Lagu, game, internet sudah mulai mencemari keasyikan anak kampung. Kesenangan pun berpindah haluan.Â
Masa putih abu-abu sepertinya agak mengganggu juga di waktu yang sama efektif. Kisah romansa anak monyet yang tidak menghasilkan apa-apa. Walau tetap beruntung karena tidak terikat oleh ikatan apapun.
Hingga seorang guru mengajak untuk mengaji. Kembali merenungi ajaran Nabi. Tau hakikat hidup ini. Sampai paham bagaimana dunia bekerja. Memberikan pandangan tentang masa depan. Terumuskan rencana apa yang harus dilakukan.
Perjalanan sungguh sangat jauh di depan. Maka peraingghan setelah ini adalah KEDIRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H