Ketika kita mendengar PUBG, Free Fire, Mobile Legend, Class of Clan, Call of Duty, maka yang ada di benak kita adalah game. Ya, banyak anak muda yang menyukainya. Bahkan beberapa mungkin masih kecil atau sudah tua. Di waktu luangnya, mereka menyempatkan diri untuk ikut bersenang-senang dengan game-game itu. Bahkan keponakan saya juga suka, bahkan kecanduan main. Saya sendiri tidak terlalu suka dengan hal semacam itu. Sekiranya masih banyak hal yang lebih menyenangkan dan lebih bermanfaat dari itu.
Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan hukum bermain game, sebagaimana para asatidz lakukakan. Saya malah terispirasi dengan orang yang suka bermain game. Mereka sungguh senang dan gembira ketika bisa menyelesaikan misi yang ada di game itu. Sebaliknya, mereka juga sedih atau marah ketika kalah atau gamenya terlalu susah.
Mungkin seperti itu juga hidup. Allah menggambarkan hakikat hidup dalam surat al-An'am ayat 32, "Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?"
Sama halnya dengan game, hidup ini bukanlah hidup yang sebenarnya. Kehidupan sebenarnya adalah nanti di akhirat. Kesenangan dan kegemberiaan yang kita peroleh di dunia cepat hilang. Orang boleh senang ketika juara dalam sebuah perlobaan. Tapi itu hanya sebentar.Â
Orang juga bisa gembira ketika bisa mendaptakan keuntungan yang besar dari sebuah proyek. Tapi itu sementara. Orang juga bisa bersuka cita manakala bisa menjadi sosok yang diimpikannya. Tapi itu tidak lama. Semua kesenangan itu hanya bertahan sebentar saja. Setelah itu akan pergi meninggalkan kita.
Sungguh lucu ketika orang mengorbankan segalanya hanya berorientasi dunia. Menjual dan kehormatan demi mendapat segebok uang. Menistakan agama agar bisa disukai orang. Meninggalkan keluarga hanya agar bisa menjadi popular dan naik daun. Padahal apa yang dicarinya hanyalah dunia. Dan dunia akan lenyap setelahnya.
Saya ingat dengan beberapa teman yang ditinggal orang tua. Mereka memperkaya diri mereka dan mentelantarkan anak mereka sendiri. Sama juga dengan beberapa murid saya yang orang tuanya begitu kaya raya. Akan tetapi perhatian mereka kepada anak mereka sungguh minim. Sehingga mereka tidak tahu apa yang dilakukannya di rumah. Apa yang dilakukan di depan komputer. Apa yang dibuka dan apa yang ditonton. Semuanya tak terkontrol. Hingga akhirnya ketika mereka besar, malah jadi seorang berandal.
Satu kelucuan lagi. Banyak orang mengumpulkan harta benda berlimpa. Karena saking sibuknya, tidak sempat sama sekali untuk menikmati harta yang telah dikumpulkannya. Hingga tiba penyakit yang melarangnya untuk makan ini-itu. Atau juga melarangnya untuk melakukan aktivitas berat atau perjalanan panjang yang menguras energy yang banyak. Lalu untuk apa harta itu semua. Hingga akhirnya mati dalam keadaan tidak pernah menikmati dunia yang dikumpulkannya. Lalu buat apa bekerja siang dan malam hingga mengorbankan semuanya ketika dianya sendiri sengasara?
Semua yang nampak nikmat di mata kita, belum tentu begitu kenyataannya. Maka kita tidak perlu iri denga mereka yang punya banyak harta. Mungkin harta mereka miliki. Akan tetapi apakah rasa bahagia juga ada di hati mereka? Ataukah semua senyum yang mereka perlihatkan hanya palsu. Itu hanya menutupi keadaan mereka hancur dan memiliki banyak masalah? Wallahua'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H