Setahun ini berkecimpung di dalam dunia pendidikan telah memberi saya banyak sekali penglaman tentang hal-hal menarik, aneh dan menantang yang saya alami selama menjadi guru. Pembaca dan guru-guru yang budiman, saya membuat tulisan ini bukan untuk menjadikan profesi guru terkesan susah dijalani dan membuat kita terkekang. Saya sendiri adalah seorang yang baru saja menjadi guru.
Apakah guru itu role model yang harus selalu mengajarkan hal-hal yang baik kepada para murid? Jawabannya adalah benar. Tapi pertanyaan selanjutnya adalah, Apakah guru itu seorang dewa? Tentu jawabannya bukan.
Nah, di sinilah yang benar-benar menjadi perhatian saya. Masih banyak orang yang berpikir bahwa guru harus selalu berbuat benar, supaya di mata anak didiknya tak ada satu pun hal negatif yang terlihat. Saya sangat setuju dengan itu, bahkan dari dulu sebelum saya menjadi guru. Tapi masalahnya di sini adalah guru adalah seorang manusia juga. Dan manusia itu tak luput dari kesalahan dan lupa.
Saya akan memulai dengan berbagi pengalaman saya mengenai poin pertama di atas. Saya adalah orang dengan kepribadian yang unik karena memang setiap orang punya keunikan sendiri. Pertama, saya adalah orang yang konyol dan usil dan menjadikan teman-teman saya merasa jengkel kepada saya berkali-kali. Dan saya pun berkali-kali mendengar pernyataan seperti ini “Nanti kalau kamu sudah kerja(ngajar), kasih tahu ya di mana, biar anakku nanti gak akan ku sekolahin di situ”. Saya dengan ini berkali-kali. Sekali lagi, berkali-kali. Dan saya mengerti mengapa mereka mengatakan itu.
Tapi ketika saya menjadi guru, apakah saya memperlakukan murid saya seperti saya kepada teman-teman saya? Tentu tidak. Sejauh ini saya bisa bersikap sesuai dengan etika guru, karena pada dasarnya saya ini menyukai anak-anak dan mengajar.
Saya bisa menjadi tegas dan berwibawa di depan murid-murid saya. Bahkan saya kadang bisa memberikan kata-kata motivasi kepada siswa, walaupun kadang saya mengambil kutipan dari orang lain. Ini menyebabkan beberapa siswa mengatakan itu adalah ‘golden ways’ nya saya. Hahaha, konyol sekali. Hal ini mengakibatkan saya seperti memiliki 2 kepribadian dan kadangkala membuat saya berpikir apakah ini baik untuk psikologis saya.
Namun akhirnya saya menyadari bahwa inilah yang disebut profesionalitas. Menjadi guru melatih saya untuk bekerja seprofesional mungkin dengan mengesampingkan masalah pribadi dan lebih memprioritaskan kebutuhan untuk mencapai target pekerjaan saya dalam menjadi guru.
Namun, ada juga hal yang masih mengganjal dalam pikiran saya selama menjalani profesi ini, yaitu stereotype masyarakat yang masih menganggap bahwa guru ‘tidak boleh salah’. Seperti yang saya sebutkan tadi, guru bukanlah dewa. Dan profesi benar-benar menuntut saya untuk selalu terlihat baik di sisi akademik dan afektif. Guru benar-benar dituntut untuk mengajarkan konsep yang benar dari ilmu pengetahuan yang diajarkan, diikuti dengan sikap yang benar pula. Susah kan? Apalagi jika pelajaran yang dipegang adalah Matematika, yang umumnya tidak disukai murid.
Di awal saya mengajar, saya pernah tidak bisa menjawab pertanyaan siswa yang benar-benar di luar perkiraan saya. Di kala itu, saya melihat wajah-wajah mereka menunggu jawaban dari saya. Akhirnya saya menjelasakan berputar-putar supaya tidak terlihat ‘bodoh’ di depan mereka. Tapi itu malah membuat mereka semakin mlongo kebingungan dan pada akhirnya keringat pun bercucuran. Berasa sedang menghadapi sidang skripsi.
Tapi saya pun akhirnya mengatakan pada mereka bahwa saya belum bisa mendapatkan jawabannya dan akan kembali menjelaskan setelah jawabannya sudah ditemukan. Anak-anak pun akhirnya terlihat lega dan tidak plonga-plongo lagi. Dari kejadian itu saya belajar bahwa anak-anak dapat menerima kekurangan saya, walaupun ada anak yang mengatakan bahwa saya ‘kurang siap’. Jleb, itu adalah pukulan keras bagi saya.
Walaupun murid bukanlah bos kerja saya, tapi mereka adalah klien saya. Itu artinya mereka tidak puas dengan servis yang saya berikan. Menjadi guru harus benar-benar memiliki persiapan yang sempurna. (BERSAMBUNG)