[caption id="attachment_331861" align="aligncenter" width="300" caption="dakwatuna.com"][/caption]
“Al Fatih sultan kami, Attaturk bapak kami, Erdogan pemimpin kami…”,
teriakan ini bersahutan di tengah keramaian Pemilu kedua yang diikuti AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi), partai yang dipimpin oleh Recep Tayyib Erdogan di Turki pada tahun 2011 lalu.
Bagi para aktivis pergerakan Islam yang tidak atau belum terbiasa memahami keadaan di Turki, kalimat tersebut pasti melahirkan paradoks di dalam hati. Bagaimana mungkin Al Fatih yang seorang sultan disandingkan dengan Attaturk yang notabene dikenal sebagai orang yang mengantarkan kekhalifahan ke jurang kematian ? Namun begitulah Turki. Negara sekuler yang melekat di dalam hati setiap rakyatnya dan kebanggaan tentang kebesaran sejarah bangsanya.
Teriakan itu adalah refleksi kebanggaan Turki, yang satu dekade lalu dikenal sebagai salah satu negara di Eropa yang terpuruk, hari ini kemudian menjadi salah satu negara yang pertumbuhan ekonominya di atas 6 % setiap tahun, sedangkan seluruh negara di Eropa sedang terpuruk dengan berbagai masalah ekonominya. Teriakan itu pula yang menjadi bukti kecintaan masyarakat Turki pada Erdogan dan AKP, partai yang dipimipinnya. Memenangkan tiga kali pemilu dalam 12 tahun terakhir menjadi bukti yang tidak bisa dibantah.
Simbolisme Partai Islam
Walaupun demikian kemenangan AKP bukanlah kemenangan golongan Islamis. AKP tidak pernah membawa simbol agama atau keislaman. Bahkan AKP menandaskan bahwa Turki akan terus berlangsung sebagai negara yang sekuler. Raihan suara AKP yang pernah mencapi 50 % dalam pemilu 2011 bukanlah suara rakyat ‘islamis’. Nyatanya, AKP tetap menang dalam pemilu terakhir walaupun kelompok ‘islamis’ pendukung AKP yang selama ini dimotori oleh Fethullah Gulen berubah haluan dan memilih berseberangan. Bahkan Erdogan dalam pidato kemenangannya menyebut ‘Gulenisme’ dari Pensylvannia (Fethullah Gulen sejak 1999 tinggal di Amerika Serikat) sebagai pengkhianat dan berusaha merongrong pemerintahannya lewat kudeta yudisial dalam beberapa tahun kebelakang.
Fenomena unik ini semakin renyah untuk dikaji ketika kita mendengarkan sebuah diskusi yang digelar oleh USINDO (The United States-Indonesia Society) pada Jumat lalu (28/3) di Amerika Serikat. Diskusi tersebut mempertanyakan , bagaimana Indonesia dengan mayoritas masyarakat beragama Islam justru partai-partai Islam mengalami kemunduran. Sedangkan di negara-negara lain, organisasi politik Islam menunjukkan kekuatan politik dan keterpilihannya oleh masyarakat.
Sebenarnya Indonesia dan Turki memiliki kesamaan pada mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Keduanya-pun sama-sama memiliki sejarah kebangsaan yang demikian heroik dan dibanggakan. Perbedaannya hanya terletak pada cita-cita kebangsaan (nation will), yang dipengaruhi oleh sejarahnya masing-masing. Sekulerisme Turki, demikian dalamnya dipahami oleh Erdogan, Gul dan kawan-kawannya di AKP sebagai identitas kebangsaan tidak akan pernah bisa digantikan atau dirubah dengan ekstrim. Mereka belajar dari apa yang pernah dilakukan oleh Necmettin Erbakan, tokoh Islamis dan salah satu guru mereka, pada tahun 1996 ketika memenangkan pemilu dengan Partai Rafah dan setahun kemudian dijatuhkan oleh militer karena dianggap hendak menghilangkan sekulerisme Turki.
Seorang mantan menteri di Turki, Huseyin Celik, mengatakan bahwa AKP adalah partai yang berhaluan demokratis konservatif terhadap nilai moral dan sosial. Sedangkan media, bervariasi dalam memberikan identitas ideologi AKP. The Economist menyebut AKP sebagai partai ‘agak Islam’, Reuters memberikan gambaran AKP sebagai ‘berakar Islam’ dan banyak media-media barat yang cenderung mengasosiasikan AKP dengan keislaman. Huseyin Celik pada tahun 2012 menegaskan bahwa apa yang selama ini dikatakan oleh media tidak mewakili kebenaran yang sesungguhnya pada AKP.
Sekulerisme Anglo-Saxon, itu yang Abdullah Gul, Presiden Turki sebut sebagai sekulerisme baru yang diusung oleh AKP. Sekulerisme yang tidak represif. Erdogan menggambarkannya dengan sebuah kalimat pembuka dalam sidang parlemen Turki yang membahas paket demokratisasi (termasuk di dalamnya aturan penggunaan jilbab), “ Mereka yang tidak mengenakan jilbab, sama saja di depan negara sebagaimana warga negara lainnya. Menunjukkan favoritisme antara satu dengan yang lain tidak sesuai dengan prinsip-prinsip persamaan dan keadilan. Melihat seseorang sebagai warga negara yang diterima sementara menjauhkan yang lain berlawanan dengan kesadaran publik dan nilai-nilai kemanusiaan.”