Mohon tunggu...
Faqih Ma arif
Faqih Ma arif Mohon Tunggu... Dosen - Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Beijing University of Aeronautics and Astronautics | 601B号房间 | 1号楼, 外国留学生宿舍 | 北京航空航天大学 | 北京市海淀区学院路 | 37學院路, 邮编 |100083 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

WHO Lambat Peran hingga Skenario Mengendalikan "R0" COVID-19 yang Terus Mengganas

2 April 2020   00:05 Diperbarui: 2 April 2020   00:05 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Rumah Sakit Persahabatan mendapatkan bantuan 1.500 peralatan medis, akan tetapi perhari menghabiskan 470, maka jumlah tersebut hanya mampu menampung selama lebih kurang selama tiga hari". Ujar dr. Erlina Burhan, pakar spesialis paru dari RS Persahabatan dalam keterangan di salah satu stasiun TV Swasta.

Pandemi COVID-19 yang terus mengganas menyebabkan banyak korban jiwa, hampir semua aspek (berbagai bidang) terkena dampaknya. Hingga dini hari ini, terkonfirmasi jumlah total korban terinfeksi di dunia berada dikisaran angka (885.687) dilansir dari JHU CSSE. 

Amerika Serikat, Italia dan Spanyol menjadi yang tertinggi dengan angka korban terinfeksi berturut-turut sebesar (190.089), 105.792) dan (102.136) jiwa. Jumlah korban meninggal diseluruh dunia dilaporkan 44.216 Jiwa dengan korban sembuh 185.477 jiwa.

Berbagai negara berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan dan proteksi terbaik bagi warga negaranya. Sebutlah China, Korea Selatan, Singapura dan beberapa negara lainnya yang berusaha sekuat tenaga agar virus ini dapat dikendalikan, mengingat vaksin masih dalam tahapan uji coba.

Sayangnya, Organisasi Kesehatan Dunia terlambat ambil peran, pakar teknologi dan IT telah mengeluarkan software canggih yang dinamakan "Kalkulator Epidemi", yang dapat digunakan secara actual dengan mengacu pada data riset. Lantas, apa saja yang menjadi poin dari tulisan ini?, mari kita simak bersama.

WHO Terlambat ambil peran
Aplikasi untuk mendeteksi coronavirus telah dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), prototipe dasar aplikasi direncanakan berjalan pada 30 Maret 2020. Akan tetapi, hingga berita ini ditulis kita belum dapat mengaksesnya.

Software yang dibuat diberi nama WHO My Health. Adapun nama tersebut diusulkan oleh tim Covid App Collective. Siapa saja di dalamnya?, mereka adalah mantan karyawan Google dan Microsoft dan penasehat serta duta WHO, ditambah pakar industri di bidangnya. Fantastis bukan?. Aplikasi yang dibuat memuat beberapa hal penting seperti kiat atau tips, berita, untuk memberikan informasi aktual selama pandemi COVID-19.

Di awal pekan akhir Maret, WHO juga menampilkan chatbot yang berfungsi untuk menemukan mitos tentang coronavirus dan membantu diagnosis mandiri pengguna sampai dengan batas tertentu jika pengguna memiliki gejala COVID-19, chatbot tidak sendirian, ia bekerjasama juga dengan WhatsApp.

Aplikasi yang dikembangkan oleh WHO ini sebenarnya telah lebih dahulu digunakan oleh para ahli di China, Korea Selatan, dan Hongkong dalam rangka mencegah penyebaran yang lebih luas. Dalam hal ini, WHO terlambat ambil peran.

Kabar baiknya, Indonesia juga telah mengembangkan aplikasi serupa seperti yang digunakan di DKI Jakarta dan Jawa Barat seperti laporan Gubernur dalam wawancara dengan stasiun televisi swasta. Kembali lagi, WHO terlambat ambil peran.

Bagi penulis, WHO Terlambat ambil peran. Seharusnya tim IT WHO bergerak lebih cepat agar informasi yang disampaikan dapat diserap oleh masyarakat luas. Bayangkan saja, ketika masyarakat ramai dengan penyemprotan desinfektan di anggota badan, baru setelahnya WHO memberikan sosialisi bahwa hal tersebut tidaklah benar. Kesekiankalinya, WHO Terlambat ambil peran. 

Andaikan saja informasi ini lebih cepat disampaikan, tentunya akan meminimalisir masalah dan kebingungan yang terjadi di tengah masyarakat luas.

Skenario terbaik COVID-19 di Indonesia
Saat ini pemerintah kita terus berupaya untuk memberikan solusi terbaik untuk pandemi COVID-19. Permasalahan utama masih berkutat pada kapasitas rumah sakit dan pelayanannya yang tidak selaras dengan penambahan jumlah pasien dalam jumlah cukup besar.

Belum lagi dalam bidang sosial dan budaya, adanya pembatasan sejumlah daerah dalam mengantisipasi dan memberlakukan karantina wilayah, membuat hal yang tidak mudah bagi sebagian masyarakat, terlebih bagi mereka yang bisa dikatakan jauh dari mapan.

Skenario terbaik tanpa darurat sipil | imperialcollege
Skenario terbaik tanpa darurat sipil | imperialcollege

Beberapa scenario yang telah diusulkan imperialcollege juga diterapkan oleh pemerintah kita, beberapa poin di atas menjadi dasar dalam pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemangku negara.

Salah satu skenario dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengendalikan transportasi publik, merumahkan siswa atau mahasiswa untuk belajar daring, kemudahan dalam peminjaman angsuran, bekerja dirumah bagi pegawai negeri, diskon khusus yang diberikan PLN selama tiga bulan, dan berbagai langkah solusi lainnya untuk membantu masyarakat dalam memahami dan mencegah infeksi Pandemi COVID-19.

"Skenario apakah yang terbaik untuk Indonesia?".  Coronvirus menjadi sangat menginfeksi setelah pasien pertama dan selanjutnya terdeteksi. Pemerintah telah hadir dan merespon positif meskipun masih sangat terlambat. Jumlah korban harus ditekan, peralatan medis harus dipenuhi, atau akan menambah jumlah korban dari tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Berikut ini skenario yang diusulkan dengan metode trial dan error, menggunakan asumsi data actual dengan cara memanfaatkan Kalkulator Epidemic untuk prediksi perkembangannya.

Hasil analisis 01 | dokpri
Hasil analisis 01 | dokpri

Analisis awal ini menunjukkan bahwa untuk pasien yang dirawat dengan pasien meninggal berjumlah 800.000 dan 210.000 jiwa.  Artinya dalam tahapan ini, tingkat kematian 2.36 persen. Selanjutnya, mari kita bandingkan grafik tersebut dengan menampilkan korban terinfeksi, korban dirawat, dan korban meninggal dunia.

Hasil analisis 02 | dokpri
Hasil analisis 02 | dokpri

Gambar di atas menunjukkan bahwa korban terinfeksi (warna merah), korban dirawat (warna biru muda) dan korban meninggal dunia (warna biru tua). Sementara jika kita mereferensi pada artikel sebelumnya [disini], maka kapasitas pelayanan medis dan kesehatan sangatlah terbatas.

Hasil analisis 03 | dokpri
Hasil analisis 03 | dokpri

Berdasarkan gambar pada analisis 03, menunjukkan grafik optimis. Ini menggambarkan bahwa tingkat keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemic COVID-19 ini cukup besar. Prosentase jumlah korban yang dominan mengandung intisari bahwa metode yang diterapkan pemerintah berhasil membuat nilai "R0" melandai, meskipun nilainya tidak mungkin kurang dari 1.

Skenario Terburuk
Skenario terburukpun harus direncanakan, alih-alih banyak ahli pemerintah kita di sana, apa salahnya jika kita ber-asumsi sebagai orang awam. "Kenapa demikian?", Karena sejauh ini asumsi sangat penting untuk menangkal isu-isu yang tidak jelas dan berkembang di masyarakat. Isu ini harus ditangkal dengan tindakan akademis, salah satunya dengan riset dan ditulis meskipun dalam skala kecil.

Ilustrasi metode antisipasi skenario terburuk tanpa darurat sipil | imperialcollege
Ilustrasi metode antisipasi skenario terburuk tanpa darurat sipil | imperialcollege

Kembali penulis tidak mengatakan bahwa sistem kesehatan kita buruk, akan tetapi melihat dari kondisi saat ini, peralatan medis dan kesehatan yang sangat terbatas, sementara jumlah pasien terus mengalami lonjakan, perlulah kita waspada dan eling. Eling bahwa kita sekarang tidak sedang baik-baik saja.

"Rumah Sakit Persahabatan mendapatkan bantuan 1.500 peralatan medis, akan tetapi perhari menghabiskan 470, maka jumlah tersebut hanya mampu menampung selama 3 hari". Ujar dr. Erlina Burhan, pakar spesialis paru dari RS Persahabatan dalam keterangan di salah satu stasiun TV Swasta.

Mirisnya, dokter Erlina menambahkan bahwa tim medis dan kesehatan akan menghemat penggunaan masker. Masker akan digunakan ulang dengan diberi nama masing-masing agar tidak tertukar, dan dijemur dalam waktu 3-4 hari lamanya.

Jika menilik pernyataan di atas, anggaplah bahwa Negara kita tidak dapat mengatasi Pandemi COVID-19 ketika korban terus bertambah dan mari tambahkan angka fatalitas ke 10 persen. Angka ini adalah skenario terburuk saat ini seperti yang dialami oleh Italia. 

Asumsi lainnya adalah bahwa karantina, dan beberapa metode yang diterapkan tidak banyak membantu dalam menurunkan angka "R0" (meskipun hanya beberapa persen, dan tidak dapat diratakan dalam satu tahun).

Skenario implementasi s.d. 2021 | imperialcollege
Skenario implementasi s.d. 2021 | imperialcollege

Terkait dengan data populasi, karena Indonesia sekitar 269 juta jiwa, kita akan mengasumsikan bahwa sekitar setengah persen penduduk Indonesia terinfeksi (13.450.000) jiwa dengan kematian (1.345.000) jiwa meninggal dunia.

Analisis skenario terburuk | dokpri
Analisis skenario terburuk | dokpri

Skenario terburuk dapat diilustrasikan di dalam gambar di atas, yang mana jumlah korban terinfeksi, jumlah korban dirawat, jumlah korban meninggal dan korban sembuh agaknya sama dengan gambar sebelumnya. Namun, sebenarnya tidak.

Hal ini dipengaruhi oleh faktor skala penggambaran yang dipakai, tidak menggunakan skala rigid. Sehingga gambar awal dan akhir dari kedua skenario ini terlihat sama. Untuk membuktikan dapat diperiksa pada jumlah korban terinfeksi dan meninggal, jumlahnya cukuplah besar.

Keterbatasan Software
Kalkulator Epidemic yang digunakan adalah software yang dibuat berdasarkan data yang kita masukkan. Setiap negara memiliki tingkat fatalitas yang berbeda, seberapa luas nilai R0 pandemi COVID-19?, beberapa peneliti menyebut 4, 2, bahkan ada yang menyebut 6.

Lantas, bagaimana dengan data lain seperti durasi pasien terinfeksi, masa penyembuhan, masa perawatan dirumah sakit, berapa lama suatu negara dapat merawat pasien IGD?, dan lain-lain adalah angka yang dapat dimasukkan oleh para pakar dari pemerintah, karena basis data ada disana. Inilah keterbatasan software yang dibuat manusia.

Sebagai penutup, apapun software telah dikembangkan, yang terbaik adalah yang berusaha dan mencoba, bukan diam dan hanya membuat statement tidak jelas. Basic sains dan teknologi di Indonesia masihlah lemah, sehingga dengan adanya software ini diharapkan dapat memberikan gambaran apa yang akan terjadi ke depan jika kita masih belum dapat berbuat banyak dan penuh retorika.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebenarnya adalah cara bertempur untuk membuat kurva R0 menjadi lebih landai, meskipun persentasenya hanya sedikit, itulah yang dapat kita lakukan sembari menunggu penawarnya datang. Semoga!

Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1 2 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun