Batik berasal dari bahasa Jawa "ambhatik", dari kata "amba" yang berarti lebar, luas, kain; dan "titik" atau "matik" yang artinya menghubungkan titik-titik menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar. Dalam bahasa Jawa, batik ditulis "bathik". Dengan demikian, pengertian batik adalah seni lukis di atas kain dengan menggoreskan malam (lilin) pada alat bernama canting.
Hari Batik Nasional (HBN) adalah salah satu hari perayaan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Non-Bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). HBN ditetapkan pada 02 Oktober 2009 oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).
Dikutip dari laman kompas batik mendapatkan status ICH melalui kantor UNESCO di Jakarta oleh kantor Menko Kesejahteraan Rakyat yang mewakili pemerintah dan komunitas batik Indonesia pada tanggal 04 September 2008.
Disebutkan juga kala itu dalam waktu yang bersamaan, dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui UNESCO, Indonesia hanya menyumbangkan satu buah. Sedangkan China sejumlah 21, Jepang 13.
Agenda yang diselenggarakan UNESCO kala itu mengakui batik, wayang, keris, noken, dan tari saman sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia oleh UNESCO (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity).
Dengan usulan warisan budaya itu, UNESCO menilai bahwa batik memiliki keunikan dan filosofi mendalam, tidak hanya itu batik juga menggambarkan siklus kehidupan manusia. Berdasarkan hal inilah tanggal 02 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional (HBN).
Sejarah Batik
Sejarah batik sendiri sangat erat kaitannya dengan kerajaan Majapahit dan penyebaran Islam di tanah Jawa. Dalam beberapa catatan penting, pengembangan batik banyak terdapat pada masa kerajaan mataram.
Membuminya batik di Nusantara adalah pada akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Ragam yang dihasilkan adalah batik tulis sampai dengan awal abad ke-XX. Dalam perkembangannya kemudian kita mengenal batik CAP setelah perang dunia pertama pada tahun 1920-an.
Keluarga raja-raja Indonesia pada zaman dulu menggunakan kesenian batik sebagai pakaiannya. Awalnya batik hanya untuk kalangan terbatas untuk pakaian raja, akan tetapi karena banyak keluarga raja tinggal di luar keraton, maka kesenian ini di bawa keluar keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing.
Dalam jangka waktu tertentu, selanjutnya kesenian ini ditiru oleh masyarakat luas, dan menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya, untuk mengisi waktu luang. Batik yang tadinya hanya untuk masyakarat di lingkungan keraton selanjutnya menjadi pakaian rakyat yang digemari.
Kain putih pada batik merupakan hasil tenunan warga dan bahan pewarna yang dipakai berasal dari produk alam, seperti pohon mengkudu, tinggi, soga, nila dan bahan sodanya terbuat dari soda abu, serta garamnya dari tanah lumpur.