Saya kasihan melihat nasib trotoar-trotoar di kota-kota besar di Indonesia ini. Betapa tidak ..?? trotoar yang kapasitasnya tak lebih luas dari pekarangan rumah seorang pejabat, bahkan tak sedikitpun terlihat cantik dan megah seperti toilet-toilet orang-orang berduit, kini sangat menderita dan tersiksa. Pasalnya, banyak sekali dari kaum manusai pada umumnya, menggunakan jasa trotoar-trotoar jalan itu sebagai tempat dan lahan untuk menjalankan segala jenis kegiatannya. Tanpa perkiraan dan perenungan yang lebih matang. Coba lihat di Jakarta misalnya, atau di berbagai kota besar di Indonesia lainnya. Trotoar-trotoar jalan banyak yang beralih fungsi dari “tempat untuk pejalan kaki”, kini bertambah muatan menjadi “Jalanan umum” baik sepeda angin, bahkan sepeda motor juga banyak yang memanfaatkan trotoar jalan untuk menghindari kemacetan. Di samping itu pula, dengan maraknya “pasar-pasar” dadakan yang berjubel di setiap trotoar jalan itu juga menjadi penyebab penderitaannya. Tidak bisa di bayangkan, seperti apa rasa sakit yang diderita oleh trotoar-trotoar itu. Salama 24 jam full, mereka harus mampu memikul beban yang sebegitu beratnya menindih, menginjak, menggilas, menekan, dan sebagainya, di atas tubuhnya yang kecil serta sempit itu. Kita saja sebagai manusia, sangat tidak mau jika harus memikul beban yang tidak seberapa dibandingkan mereka. Bahkan terkadang di antara kita yang merasa mempunyai uang lebih akan menyewa orang lain untuk membawakan barang-barang kita, padahal kita masih mampu membawanya sendiri. Para pengguna trotoar-trotoar itu tidak sekilas pun terbersit di pikirannya, beratkah beban yang harus di pikul oleh trotoar-trotoar yang mereka pergunakan jasanya itu? Lebih parahnya lagi, tidak sedikit dari mereka--tanpa rasa bersalah sedikit pun, mereka mengotori trotoar-trotoar itu seenaknya sendiri. Mereka membuang sampah sisa dari aktifitas mereka sembarangan, meludah, puntung-puntung rokok si perokok juga banyak yang tercecer di atasnya, dan mereka membuang apa saja yang dianggap tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri di trotoar-trotoar tersebut. Alangkah sungguh nestapanya menjadi trotoar-trotoar yang tak terawat seperti itu. Sementara yang membuat trotoar itu sendiri tidak tahu-menahu dan tidak mau tahu akan nasib hasil karyanya, yaitu trotoar-trotoar yang malang itu. Serta petugas-petugas yang seharusnya mengamankan dan menjaga “Bangunan Negara” itu terlalu lamban dalam menjalankan tugas sebagai Abdi Negara, bahkan ada “tendensi”, bahwa mereka menunggu sesuatu yang menguntungkan bagi mereka, baru mereka bekerja. Jika tidak, mengapa harus buang-buang tenaga. Ya, dibiarkan saja. Katanya. Keikhlasan dalam mengabdi pada Negara sangatlah miskin dan fakir. Seakan-akan tidak ada rasa cinta dan rasa memiliki sedikitpun terhadan negeri ini. Banyak di antara kita yang menganggap, jika melihat langsung di tempat kejadian, menyalahkan mereka yang berjualan, mereka yang bersepeda angin, mereka—para pengendara yang menghindari kemacetan dengan menggunakan trotoar jalan sebagai jalan alternatif, dan pengguna trotoar yang tidak semestinya melakukan aktifitasnya di sana. Tapi, biar bagaimana pun mereka melakukan semua itu pasti karena ada faktor lain yang mendasari. Entah itu faktor keluarga atau yang lainnya. Jadi, mereka tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. Satu hal yang bisa kita lakukan, sebagai warga Negara Indonesia yang cinta terhadap tanah airnya dan demi kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat dengan umat manusia secara umum, maka hindari apa pun yang bukan hak kita. Termasuk menghindari jalan yang bukan hak kita untuk melewati jalan itu. SALAM…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H