First of all, selamat ulang tahun dulu buat Earl Ciel Phantomive! Ciye ulang tahunnya samaan dengan saya. Makasih ya, selain Game of Thrones kamu jadi salah satu alasanku semangat belajar sejarah.. :D
Gelar, iya gelar. Jangan salah baca jadi galer ya, heuheu.
Gelar merupakan hal yang cukup penting di kerajaan dahulu, di kerajaan Britania yang sempat berjaya pun mempunyai tingkatan gelar-gelar di kalangan bangsawan seperti Duke, Viscount, dan Earl lalu panggilan Lord (untuk pria) dan Lady (untuk wanita) yang mendapatkan gelar-gelar itu, dibawah panggilan Lord pun masih ada panggilan Sir (contohnya Sir Alex Ferguson).
Ah, buat yang nonton serial HBO Game of Thrones atau baca manga Black Butler (Kuroshitsuji) pasti familiar deh.. :v (Earl Ciel Phantomive yang diatas salah satu karakter Black Butler).
Tentu saja posisi gelar di kerajaan nusantara pun juga tinggi, tapi lucunya disaat kekuasaan kerajaan semakin menipis dan menipis dengan datangnya kompeni Belanda dan kerajaan Inggris yang dengan segala intrik liciknya menguasai banyak daerah-daerah di Indonesia akhirnya gelar itulah satu-satunya yang dipakai untuk mengangkat harga diri sang raja.
Contoh saja Sultan Siak Sri Indrapura kesebelas, setelah kekuasaannya yang makin menipis dan menipis hingga akhirnya ia menjadi sultan yang tunduk dibawah kekuasaan pemerintahan Hindia-Belanda, gelarnya pun menjadi panjang sekali;
Sri Paduka Yang Dipertuan Besar Assaid Asy Syarif Hasyim, Abduljalil Saifuddin Al Baalwi, Sultan Syah Siak Sri Indrapura dan rantau jajahan takluknya, bersemayam di istana Assaraya Al Hasyimiyah.
Gelar lengkap dan resmi inilah yang dipakai, gelar yang tiada artinya karena kekuasaannya sudah direbut-rebut oleh kerajaan Inggris dan kompeni Belanda.
Pada zaman kerajaan masih kuat, raja-raja dan sultan-sultan masih memakai gelar yang sederhana, atau nama saja tidak banyak sambungan. Seperti Raja Hasannudin, Panembahan Yusuf, Maulana Muhammad. Tetapi setelah kerajaan mundur, orang bertahan dengan kemegahannya pada gelar-gelar yang tinggi dan panjang, tapi artinya tidak ada lagi. Begitulah kata Hamka di bukunya ‘Dari Pembendaharaan Lama’.