Tampak asap Indonesia dari luar angkasa (credit: NASA)
Benarkah Indonesia darurat asap?
Beberapa hari yang lalu (28/9/2015) Pemerintah Indonesia untuk yang kedua kalinya menolak bantuan dari Pemerintah Singapura yang menawarkan bantuan pesawat C-130 untuk membuat hujan buatan dan bantuan personil, padahal tepat sehari sebelumnya Wapres Indonesia sendiri mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia tidak perlu minta maaf kepada negara tetangga dan menyalahkan negara tetangga yang tidak mau kerja sama padahal perusahaannya sendiri penyebab kebakaran.
"Kita tidak perlu minta maaf karena 10-11 bulan teman-teman kami menikmati iklim yang bagus dari hutan kita, tapi dalam 1 bulan asap, mereka marah kepada kita. Kita harus kerja sama, karena banyak negara tetangga kita yang merusak perkebunan kita. Kita semestinya kerja sama," kata Wapres Indonesia saat membuka acara Tropical Landscapes Summit di Hotel Shangrila, Jakarta, Senin (27/4/2015).
Gengsi? Malu? Entahlah. Padahal dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang sudah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor: 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) / Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas sudah digariskan bahwa dalam bencana asap yang melibatkan negara tetangga maka sudah seharusnya untuk saling membantu, ini malah menolak bantuan dan menolak minta maaf?
Padahal NASA sendiri mengatakan bahwa bencana asap di Indonesia ini berpotensi untuk menjadi salah satu bencana asap terparah sepanjang sejarah, dan salah satu Dansatgas Brigjen TNI yang bertugas menanggulangi bencana asap pun mengatakan bahwa “jin pun tidak bisa menghentikan asap ini”.
Bahkan ada daerah yang kurang terjangkau oleh Badan Penanggulangan Bencana Nasional, seperti Bukit Soeharto di Kalimantan yang terpaksa dipadamkan dengan ranting dan daun karena daerahnya yang berada di perbukitan, maka pesawat C-130 pembuat hujan buatan yang ditawarkan Singapura itu tentu bisa sangat membantu.
Lalu di kepolisian, mereka melaporkan bahwa sudah menetapkan 205 tersangka pembakaran hutan.
Tapi tunggu dulu, dari 205 tersangka pembakaran hutan itu, rinciannya 196 perorangan dan sembilan perusahaan, padahal jumlah perusahaan pelaku pembakaran hutan itu ada puluhan.
Tidak cukup sampai disitu juga, 196 orang itu pun tidak semua bisa disimpulkan sebagai petani pembakar lahan, banyak juga dari mereka (berdasarkan keterangan seorang Kompasianer yang berada di Riau) yang sebenarnya hanya orang-orang sewaan perusahaan yang sebenarnya juga berasal dari kalangan kurang mampu, apakah ini pertanda indikasi affair antara para oknum kepolisian dengan perusahaan-perusahaan pelaku pembakaran hutan?
Padahal ketika orang-orang sewaan perusahaan itu ditangkap, perusahaan-perusahaan itu justru bisa saja memasang sikap tidak peduli, sikapnya ketika di Riau tahun lalu seorang sewaan mereka salah membakar hingga menyebabkan kerusakan pada bangunan sekolah, perusahaan hanya memberikan bantuan dana yang jauh dari jumlah ganti rugi (http://www.kompasiana.com/alchemist/pembakar-lahan-dapat-dipenjara-15-tahun-denda-5-milyar_54f83b35a3331175618b4f5d)
Penetapan tersangka dan sanksi terhadap perusahan pun, seperti diungkapkan oleh Badrodin Haiti tidak akan membawa pengaruh berarti jika pemerintah selaku regulator tidak memberi sanksi berat seperti blacklist terhadap perusahaan-perusahaan itu.
Cukup soal masalah asap, coba sekarang kita beralih sejenak ke kasus Salim ‘Kancil’ dan Tonas, dua orang aktivis (satunya aktivis murni, satunya seorang petani Lumajang) tambang Lumajang yang juga mencuat akhir-akhir ini.
Proses sebelum mereka akhirnya menjadi korban sungguh menyedihkan, awalnya para aktivis (yang kebanyakan juga berasal dari petani warga Lumajang sendiri) yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar Awar Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang mengajukan protes kepada kepala desa atas aktivitas tambang di Lumajang yang meresahkan para petani, namun tidak mendapatkan respon sedikitpun. Mereka akhirnya mengajukan protes kepada banyak pihak, mulai dari kepolisian sampai aparat pemerintahan.
Tapi kepolisian bergerak lamban, bahkan ada dua terduga kepolisian Lumajang yang terindikasi suap, dan yang lebih parah saat para aktivis bergerak ke DPRD , para anggota DPRD justru tidak merespon dengan baik dan justru mengatakan bahwa mereka (para petani) toh tidak akan memilih mereka di pemilihan umum selanjutnya.
Setelah kematian Salim ‘Kancil’ dan Tonas, akhirnya polisi bergerak cepat dengan langsung menangkap banyak tersangka, hingga akhirnya ketahuan bahwa sang kepala desa sendiri lah salah satu dalang aktivitas tambang di Lumajang.
***
Sekarang, setelah melihat fakta diatas saya ulangi dulu pertanyaan saya diawal; Benarkah Indonesia darurat asap?
Jawabannya: Indonesia bukan darurat asap (atau lebih tepatnya bukan itu permasalahan utamanya), Indonesia darurat integritas. Banyaknya aparat atau para pejabat (dari sekelas pejabat tinggi sampai sekelas kepala desa) yang justru tidak peduli atau bahkan justru kongkalikong dengan para perusak alam tersebut.
Saya yakin tidak semua dari mereka orang-orang jahat, pasti ada orang-orang dari pejabat tinggi dan aparat yang benar-benar mencintai bangsanya, tapi itu percuma saja jika mereka kurang tanggap atau justru memilih diam.
Nah, sekarang giliran kita, apakah kita juga memilih diam dan melanjutkan darurat integritas ini?
Tidak semua dari kita adalah pejabat tinggi, kepolisian, atau bahkan hanya sekedar ketua RT. Banyak dari kita justru hanya orang biasa.
Jika kita tidak bisa menjadi jalan raya, setidaknya jadilah jalan setapak; jalan setapak yang mengantarkan ke mata air.
Maka salah satu dari jalan setapak itu; donasi. Tidak perlu banyak-banyak, semampunya saja, karena dengan itu terciptalah banyak jalan-jalan setapak.
Ayo salurkan donasimu!
BNI: 021.882.422.8 a/n Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (bantuan donasi untuk keluarga Salim ‘Kancil’ dan Tosan)
BCA: 6760303818 a/n Aksi Cepat Tanggap (bantuan donasi untuk korban bencana asap)
Tidak bisa berdonasi? Berdoalah, mari kita sebarkan semangat harapan di seluruh negeri;
Harapan bahwa darurat integritas ini akan segera berakhir.
Sumber referensi:
http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150916_indonesia_tersangka_asap
http://www.riauonline.co.id/2015/09/28/danrem-jin-pun-tak-mampu-padamkan-api-dan-asap
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H