Mohon tunggu...
Fany El Diana
Fany El Diana Mohon Tunggu... Guru - NIM: 1903016114

Nama: Fany El Diana NIM:1903016114 Pendidikan Agama Islam FITK UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Bullying terhadap Perkembangan Psikologi di Kalangan Remaja

20 April 2021   17:43 Diperbarui: 20 April 2021   17:46 1356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Remaja merupakan salah satu tahapan pertumbuhan dan perkembangan dalam siklus kehidupan manusia ketika seseorang berada pada rentang usia 12-19 tahun. Rentang waktu tersebut adalah masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Masa ini adalah masa yang amat meresahkan (unsettling) didalam kehidupan seseorang. Selama masa ini juga terjadi banyak gejolak dalam berbagai bentuk. Bagi beberapa remaja, perubahan-perubahan yang terjadi tidak terlalu meresahkan dan juga tidak terlalu nampak. Masa remaja seringkali dihubungkan dengan label penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan perilaku sebagai akibat dari tekanan yang dialami remaja karena perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.

Sebagian orang tentu pernah mengalami peristiwa "bullying" baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar. Saat ini, bullying merupakan istilah yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Perilaku bullying dari waktu ke waktu terus menjadi hal yang menghantui para remaja. Tak dapat dipungkiri, banyak remaja yang telah mengalami bullying, terlebih lagi di lingkungan sekolahan. Hampir semua orang tahu tentang bullying, namun mirisnya kasus ini seringkali dibiarkan begitu saja.Bullying merupakan sebuah kata serapan dari bahasa inggris. Bulliying berasal dari kata bully yang artinya penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. Beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat untuk menggambarkan fenomena bullying di antaranya adalah penindasan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan atau intimidasi (Susanti, 2016).

Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya (Sejiwa, 2008). Pelaku bullying sering disebut dengan istilah bully. Seorang bully tidak mengenal gender maupun usia. Hubungan pelaku dan korban bullying biasanya merupakan hubungan sejawat atau teman sebaya, misalnya teman sekelas, antara kakak kelas dan adik kelas, antara senior dan junior. Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini pun sangat luas cakupannya. Remaja yang menjadi korban bullying lebih beresiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental (Ela,dkk, 2017). Pelaku bully bisa berupa seseorang dan sekumpulan orang, mereka mempersepsikan dirinya memiliki power (kekuasaan) untuk melakukan apa saja yang diinginkan terhadap korbannya. Korban bullying juga mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang lemah, tak berdaya, dan selalu terancam oleh pelaku bully.

Pelaku bullying sering menindas korbannya di sekolah dikarenakan sistem pengawasan yang lemah dari pihak sekolah. Bentuk bullying di sekolah bisa berlangsung secara turun temurun, misalnya pada saat Masa Otientasi Sekolah (MOS). Secara resmi MOS bukanlah ajang penganiayaan siswa. Tetapi pada kenyataannya, kegiatan seperti ini sering disalah gunakan sebagai sarana pelampiasan kekerasan dan aksi negatif terhadap siswa yang lebih muda. MOS dilakukan oleh siswa senior kepada siswa junior dan sering dijadikan sebagai ajang bullying berskala besar. Hal ini terjadi semata-mata karena mereka mendapatkan lisensi untuk melakukannnya lantaran pernah menjadi korban bullying saat menjadi siswa junior. Pelaku melakukan bullying terhadap orang lain sebagai bentuk pelampiasan kekesalan atau kekecewaan. Pelaku bullying kemungkinan besar juga sekedar mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri. Pelaku menganiaya korban karena mungkin ia sendiri dianiaya orang tua dan saudara-saudaranya dirumah, atau ditindas serta dianiaya anak lain yang lebih kuat darinya dimasa lalu.

Pembahasan

Salah satu tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson adalah remaja usia 12-19 tahun (anak SMP dan SMA) yang mempunyai istilah Identity versus Confusion. Pada tahap ini remaja akan mengeksplorasi peran baru dan status orang dewasa. Pada masa ini, individu akan mencoba meninggalkan hal-hal yang kekanak-kanakan dalam usaha untuk menjadi seseorang dengan identitas yang unik (masa pencarian jati diri). Namun Erikson mengemukakan bahwa remaja belum memiliki identitas yang jelas dan mengalami krisis identitas. Oleh sebab itu masa remaja seringkali dihubungkan dengan stereotip mengenai penyimpangan, tidak normal, dan ketidakwajaran. Padahal apa yang tidak normal kelihatannya dalam diri remaja justru adalah hal yang normal. Remaja untuk pertama kalinya mulai melepaskan diri dari berbagai tokoh otoritas demi memperoleh kebebasan.

Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi, dan is merasa tak berdaya mencegahnya. Ada beberapa macam bullying, diantaranya yaitu:

1. Bullying fisik, jenis bullying yang kasat mata. Siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan atau kontak fisik antara pelaku dan korbannya. Contohnya menampar, menendang, meludahi, dan lain sebagainya.

2. Bullying verbal, jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena melalui kata-kata dan bisa tertangkap indera pendengaran kita. Contohnya memaki, menebar gosip, memfitnah, dan lain sebagainya.

3. Bullying psikologis, jenis bullying yang berbahaya karena tidak tertangkap mata atau indera kita jika tidak cukup peka untuk mendeteksinya. Jenis bullying ini terjadi diam-diam dan diluar pengetahuan guru serta orang tua. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mengucilkan, dan lain sebagainya (Sugiariyanti, 2009).

Wiyani (2012) mengungkapkan bahwa bullying adalah suatu isu yang tidak semestinya dipandang sebelah mata dan diremehkan, bahkan disangkal keberadaannya. Masih banyak yang menganggap bahwa bullying tidak berbahaya, padahal sebenarnya bullying dapat memberikan dampak negatif bagi korbannya.  Siswa-siswa yang menjadi korban dari bullying akan menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan berbagai cara untuk menghindari gangguan di sekolah sehingga mereka hanya memiliki sedikit energi untuk belajar. Hal inilah yang akan mempengaruhi prestasi belajar yang akan dicapai oleh siswa.

Selain itu, gejala-gejala yang terjadi ketika tindakan bullying pada siswa di sekolah diantaranya adanya penurunan pada penampilan akademisnya, penurunan pada kehadiran di sekolah, hilangnya minat pada pekerjaan sekolah /PR, sulit berkonsentrasi pada pekerjaan sekolah, dan berkurangnya minat pada kegiatan yang awalnya disukai. Korban bullying memiliki penyesuaian sosial yang buruk sehingga korban merasa takut ke sekolah bahkan tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi akademik yang menurun karena mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dalam belajar bahkan terburuknya korban memiliki keinginan untuk bunuh diri daripada harus menghadapi berbagai tekanan berupa hinaan dan hukuman.

Menurut Ariesto (2009), faktor-faktor penyebab terjadinya bullying antara lain:

1. Keluarga. Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, seperti orang tua yang sering menghukum anaknya secara berlebihan, situasi rumah yang penuh setress, permusuhan, dan broken home. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka, kemudian menirunya terhadap teman-temannya.

2. Sekolah. Pihak sekolah seringkali mengabaikan keberadaan bullying, dan menganggap hal ini adalah candaan semata. Akibatnya anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi terhadap anak yang lain.

3. Kelompok sebaya. Remaja ketika berinteraksi dengan teman dalam lingkungan sekolah dan disekitar rumah, kadangkala terdorong untuk melakukan bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.

4. Kondisi lingkungan sosial. Salah satu faktor lingkungan sosial yang menyebabkan tindakan bullying adalah kemiskinan. Mereka yang hidup dalam kemiskinan akan berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak heran jika di lingkungan sekolah sering kali terjadi pemalakan antar siswa.

Bullying sudah menjadi masalah global yang tidak bisa diabaikan lagi. Banyak hal yang harus dilakukan untuk menyelamatkan perkembangan psikologis anak-anak dan remaja. Bullying bukan merupakan bagian dari perkembangan psikologis mereka, oleh sebab itu banyak elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah bullying, seperti orang tua membiasakan diri memberikan feed back positif bagi anak sehingga mereka bisa belajar berperilaku sosial yang baik dan mendapatkan model interaksi yang tepat, bukan seperti perilaku bullying dan agresi. Menggunakan alternatif hukuman kepada anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Orang tua diharapkan mau menjalin relasi dan konsultasi dengan pihak sekolah jika anaknya menjadi pelaku bullying ataupun korban. Selain itu, pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif dan kondusif, misalnya dengan mengadakan praktik kedisiplinan tanpa menggunakan hukuman kekerasan. Yang tak kalah penting yaitu meningkatkan kesadaran pihak sekolah untuk tidak mengabaikan perilaku bullying di lingkungan sekolah.

Lalu bagaimanakah upaya-upaya yang perlu dilakukan oleh guru dan orang tua untuk menghadapi hal itu?

1. Cermati gejala-gejala perubahan anak, dan segeralah lakukan pendekatan padanya.

2. Tenanglah dalam bertindak, sambil meyakinkan anak bahwa ia telah mendapat perlindungan dari perilaku bullying mendatang.

3. Laporkan kepada guru/ pihak sekolah untuk segera dilakukan penyelidikan.

4. Meminta pihak sekolah untuk memberikan info tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.

5. Mengajarkan anak cara-cara menghadapi bullying.

Pihak sekolah pun bisa menekan angka bullying atau mencegah bullying secara mandiri melalui sebuah program pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Upaya yang dilakukan antara lain: (1) memperkuat pengendalian sosial, hal ini dapat dimaknai sebagai berbagai cara yang digunakan pendidik untuk menertibkan peserta didik yang melakukan penyimpangan, termasuk tindak kekerasan dengan melakukan pengawasan dan penindakan; (2) mengembangkan budaya meminta dan memberi maaf; (3) menerapkan prinsip-prinsip anti kekerasan; (4) memberikan pendidikan perdamaian kepada generasi muda; (5) meningkatkan dialog dan komunikasi intensif anatar siswa dalam sekolah (Yuyarti, 2018).

Ada banyak strategi menghadapi bullying yang bisa kita terapkan kepada para remaja, diantaranya yaitu ajarkan untuk menyembunyikan kemarahan atau kesedihannya. Bila ia tampak bereaksi si bullying akan senang. Selain itu, ajarkan anak berani memandang mata si bullying, berdiri tegak, kepala ditegakkan dalam menghadapi bullying. Tidak berjalan sendirian dan tetap tenang dalam situasi apapun (bila dalam bahaya segera menyingkir) (Sucipto, 2013).

Kesimpulan

Bullying adalah tindakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau sekelompok orang baik secara verbal, fisik, maupun psikologis sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Tak dapat dipungkiri, banyak remaja yang telah mengalami bullying, terlebih lagi di lingkungan sekolahan. Hampir semua orang tahu tentang bullying, namun mirisnya kasus ini seringkali dibiarkan begitu saja. Hubungan pelaku dan korban bullying biasanya merupakan teman sebaya. Dampak yang diakibatkan oleh tindakan ini pun sangat luas cakupannya. Remaja yang menjadi korban bullying lebih beresiko mengalami berbagai masalah kesehatan, baik secara fisik maupun mental. Contoh bullying antara lain menghina, memukul, menatap dengan ancaman, dan lain sebagainya. Faktor-faktor penyebab bullying diantaranya yaitu keluarga, sekolah, kelompok sebaya, dan lingkungan di sekitar.

Bullying tentu memiliki dampak yang sangat besar dalam pendidikan remaja, salah satunya yaitu penurunan prestasi akademik. Upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi bullying yaitu orang tua membiasakan diri memberikan feed back positif bagi anak dan menggunakan alternatif hukuman kepada anak dengan tidak melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua diharapkan mau menjalin relasi dan konsultasi dengan pihak sekolah jika anaknya menjadi pelaku bullying ataupun korban. Pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif dan kondusif, misalnya dengan mengadakan praktik kedisiplinan tanpa menggunakan hukuman kekerasan dan menjalankan program pendidikan karakter.

DAFTAR PUSTAKA

Ela Zain, dkk. 2017. "Faktor yang Mempengaruhi Remaja dalam Melakukan Bullying". Jurnal Penelitian & PPM. Vol. 4, No.2.

Sucipto. 2012. "Bullying dan Upaya Meminimalisasikannya". Jurnal Psikopedagogia. Vol. 1, No. 1.

Sugiariyanti. 2009. "Perilaku Bullying pada Anak dan Remaja". Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol. 1, No.2.

Yuyati. 2018. "Mengatasi Bullying Melalui Pendidikan Karakter". Jurnal Kreatif. Vol.9, No.1.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun