Kemajuan zaman di dunia tidak terlepas dari manfaat teknologi. Dan sebagai manusia yang berakal sudah semestinya untuk bijak dan cerdas dalam menggunkan teknologi yang ada. Hal tersebut dapat meminimalkan suatu dampak negatif di kemudian hari. Sehingga perlu mengetahui bagaimana cara menjadi masyarakat modern sesuai norma dan aturan yang ada atau yang telah ditetapkan, khususnya kitab suci Al Quran sebagai panutan umat Islam. Selain itu, kita juga harus mengetahui dan memahami kerukunan antar umat beragama untuk menciptakan masyarakat modern yang kondusif. Negara pasti menginginkan suatu masyarakat yang modern dan berfikir cerdas untuk menuju kemajuan. Sehingga peran agama sangat berpengaruh. Artikel ini membahas mengenai masyarakat madani dan kerukunan antar umat beragama serta keterkaitan keduanya.
Masyarakat madani merupakan sebutan untuk masyarakat modern yang akrab dengan masalah pluralisme. Dengan mengetahui makna kata “madani”, maka istilah “masyarakat madani” (Al-mujtama’ al-madaniy) secara mudah bisa dipahami sebagai masyarakat yang beradab, masyarakat sipil, dan masyarakat yang tinggal di suatu kota. Dalam bahasa bahasa Inggris, Masyarakat madani disebut civil society yang berarti masyarakat sipil. Perkembangan dari social legal dan social kultural civil society sebenarnya dimulai dari tradisi pemikiran oleh orang Barat. [1] Adam B. Seligman, dikutip dalam Abdul Mun’im, mendefinisikan civil society sebagai seperangkat gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai pertentangan kepentingan antara individu dengan masyarakat dan antara masyarakat sendiri dengan kepentingan negara. Definisi lain masyarakat madani merupakan masyarakat beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Selai itu, dapat diartikan sebagai masyarakat yang maju dalam penguasaan IPTEK atau ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Abdul DZ. Mun’im, dikutip dari Nur Ahsan bahwa masyarakat sipil tidak dihadapkan dengan masyarajkat militer yang memiliki power yang berbeda. Civil society (masyarakat sipil), sesuai dengan arti generiknya, bias dipahami sebagai civilized society (masyarakat beradab) sebagai lawan dari savage society (masyarakat biadab). [2] Menurut Masroer dan Lalu, konsep masyarakat madani (civil society) pertama kali muncul dan dapat ditemukan akar kayanta sejak zaman Yunani kuno. Maka dari itu, gagasan untuk masyarakat madani (civil society) sudah bukan hal baru atau wacana baru. Pendapat mengenai masyarakat madani (civil society) juga diungkapkan oleh alumni Universitas Gadjah Mada, M. Dawam Rahrdjo, beliau mengatakan bahwa masyarakat madani atau civil society merupakan terjemahan dari istilah bahasa Latin (civilis societas) yang ada sebelum Masehi. Masroer dan Lalu juga mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan terjemahan dari civil society secara ideal merupakan sebuah komunitas masyarakat yang tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan Negara, melainkan terwujudnya nilai-niali tertentu dalam kehidupan masyakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Dalam perspektif Islam, civil society sebenarnya lebih mengacu kepada penciptaan suatu peradaban. Kata al-din, dengan arti agama, memiliki korelasi dengan makna al-tamaddun, atau peradaban. Keduanya berasosiasi dalam pengertian al-madinah yang berarti kota. Dengan demikian, maka civil society dapat diartikan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga aspek, yakni agama, peradaban, dan perkotaan. Dalam hal ini, agama sebagai sumber, peradaban sebagai prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya. [4]
Masyarakat madani dijelaskan sebagai masyarakat modern yang cerdas. Memiliki wawasan yang dapat memajukan peradaban. Maka hal tersebut dapat terlihat dari ciri-ciri dalam masyarakatnya. Menurut A.S Hikam yang dikutip oleh Suroto dalam Jurnal berjudul Konsep Masyarakat Madani Di Indonesia Dalam Masa Postmodern (Sebuah Analitis Kritis) (2015) terdapat empat ciri utama dari masyarakat madani, antara lain :
- Kesukarelaan. Dalam hal ini, artinya tanpa ada sebuah paksaan dalam melaksanakan sesuatu. Tidak mengharap apapun (ikhlas) dan tanpa pamrih.
- Kemandirian. Ciri ini dimiliki setiap individu dan kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat dalam urusannya dengan negara.
- Kwasembadaan. Yang dimaksud dalam ciri ini adalah setiap anggota mempunyai harga diri yang tinggi, mandiri yang kuat tanpa menggantungkan pada negara atau lembaga-lembaga negara atau organisasi lainnya. [5]
- Keterkaitan. Ciri yang ini menurut Hikam merupakan korelasi dalam nilai-nilai hukum yang telah disepakati bersama, karena masyarakat madani berpsrinsip pada hukum dan bukan Negara kekuasaan. [6]
Kemudian ada pendapat Anwar Ibrahim yang dikutip oleh Nurdinah Muhammad bahwa masyarakat madani memiliki ciri yang khas yaitu kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik (reprocity) antar masyarakatnya, dan sikap saling memahami dan menghargai.[7]
Sedangkan prinsip-prinsip masyarakat madani adalah sebagai berikut:
- Prinsip inklusivisme atau keterbukaan, artinya masyarakat madani memegang sikap rendah hati untuk tidak merasa selalu benar, bersedia untuk mendengarkan pendapat orang lain dalam mengambil keputusan.[8]
- Menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban, kenegaraan dan demokrasi. Prinsip ini jelas dan tegas yang terdapat dalam sistem masyarakat terutama politik. [9]
- Adanya sistem muakhah (persaudaraan)
- Ikatan iman
- Ikatan cinta
- Persamaan si kaya dan si miskin, artinya tidak ada diskriminasi pada semua elemen masyarakat.
- Toleransi antar umat beragama. [10]
Kerukunan umat beragama berarti saling menghargai dan menghormati antar masyarakat yang memiliki keyakinan yang berbeda. Seperti yang diungkapkan oleh Rusydi dan Zolehah bahwa kerukunan antar umat beragama adalah cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.[11] Kerukunan umat beragama identik dengan istilah toleransi. Istilah toleransi menunjukkan pada arti saling memahami, saling mengerti, dan saling membuka diri dalam bingkai persaudaraan. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan, maka “toleransi” dan “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.[12] Menurut Rusydi dan Zolehah bahwa konsep toleransi terutama dalam Islam bukan membenarkan dan mengakui semua agama dan keyakinan yang ada saat ini, karena toleransi merupakan persoalan akidah dan keimanan yang harus dijaga dengan baik. [13] Bahkan kerukunan umat beragama telah diatur dalam pasal 1 ayat (1) peraturan n bersama Mentri Agama dan Menteri Dalam No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat dinyatakan bahwa: Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[14]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kerukunan antar umat beragama adalah kehidupan tentram dan damai antar umat beragama serta saling toleransi. Disampaikan oleh Rusydi dan Zolehah bahwa kerukunan Kerukunan berarti sepakat dalam perbedaan-perbedaan yang ada dan menjadikan perbedaan-perbedaan itu sebagai titik tolak untuk membina kehidupan sosial yang saling pengertian serta menerima dengan ketulusan hati yang penuh ke ikhlasan. [15] Hubungan timbal balik antara masyarakat akan menciptakan saling menghargai satu sama lain. Maka untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama harus diupayakan pemahaman yang benar mengenai arti dan dampak dari sebuah kerukunan antar umat beragama. [16] Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu sarana yang penting dalam menjamin integrasi nasional, sekaligus merupakan kebutuhan dalam rangka menciptakan stabilitas yang diperlukan bagi proses pencapaian masyarakat Indonesia yang bersatu dan damai.[17]
Sedangkan untuk prinsip-prinsip kerukunan (toleransi) antar umat beragama adalah:
- Tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan secara halus ataupun secara kasar.
- Manusia berhak memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut keyakinannya.
- Tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan tertentu.
- Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan.
Nilai-nilai yang menjadi dasar terciptanya kerukuran antar umat beragama dijabarkan sebagai berikut:
- Nilai Agama
Bentuk toleransi umat beragama bisa berbagai macam. Perbedaan Tuhan dan kepercayaan yang dianut bukanlah masalah karena sejatinya, kita sebagai umat beragama tidak berhak menginterupsi umat lain karena perbedaan kepercayaan dan Tuhannya. Islam pada prinsip toleransi adalah tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama lain dan berhak menganut agama yang dia yakini serta beribadah sesuai ajaran agamanya. Islam juga mengajarkan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda, karena semua itu demi mengajarkan manusia untuk saling memahami, mengenal, dan menghormati satu sama lain.
- Nilai Budaya