Mohon tunggu...
Adi Arifin
Adi Arifin Mohon Tunggu... wiraswasta -

Keindahan Bali sebagai surga bagi pelancong sudah mendunia sejak berabad-abad yang lalu. Dari sejak jaman kolonial, sejumlah seniman mancanegara telah menggunakan Bali sebagai sumber inspirasi untuk menghasilkan karya-karya adiluhung yang tetap dikagumi sepanjang masa. Apakah keindahan Bali masih semurni dahulu ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya atau Degradasi Budaya?

29 Maret 2012   08:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:18 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama kali saya menginjakan kaki di Bali lebih dari 20 tahun yang lalu, salah satu yang paling membuat saya terkesan adalah karya ukirnya, baik itu kayu maupun tulang. Saya sungguh terkagum-kagum dengan dua hal, pertama dari sisi kemampuan si pematung menangkap proporsi anatomi, kedua kehalusan tangan si pengukir dalam menampilkan setiap elemen detail sampai yang sangat kecil sekalipun. Tapi akhir-akhir ini mulai banyak cinderamata berbentuk ukiran yang kualitasnya lebih rendah, baik dari bahan maupun detail pengerjaannya. Tentu saja dipasarkan dengan harga yang lebih rendah pula, sehingga saya fikir ya wajar-wajar saja, toh pengunjung pulau Bali bukan hanya kalangan berkantong tebal tetapi juga anak-anak sekolah yang orang tuanya bahkan harus berutang supaya bisa membiayai anaknya berkarya wisata dengan rombongan sekolahnya. Tetapi yang paling mengusik saya sebetulnya adalah ukiran berkualitas rendah berbentuk alat kelamin pria yang banyak dijajakan di pusat-pusat perdagangan cindera mata. Baik di pasar tradisional seperti Sukawati, Guwang, dan Kumbasari, di tempat-tempat wisata termasuk kawasan wisata suci seperti Tanah Lot, dan di toko-toko cindera mata modern bergaya supermarket yang akhir-akhir ini marak bermunculan. Mestinya karena sudah sering melihatnya di banyak tempat, mata saya mulai terbiasa. Bisa jadi memang begitu, tapi melihatnya dalam ukuran raksasa terpajang di depan sebuah toko cinderamata di kawasan Kesiman tetap membuat saya bergidik. Sebagai orang luar - bukan orang Bali maksudnya - saya merasa ini menodai keagungan tradisi budaya Bali yang terkenal bukan hanya di seantero negeri tapi di seluruh muka bumi. Apakah ini benar-benar merupakan bagian dari kebudayaan atau justru pertanda degradasi budaya yang kalah tergerus jaman yang memang semakin lama semakin sulit untuk dimengerti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun