Pertama kali saya menginjakan kaki di Bali lebih dari 20 tahun yang lalu, salah satu yang paling membuat saya terkesan adalah karya ukirnya, baik itu kayu maupun tulang. Saya sungguh terkagum-kagum dengan dua hal, pertama dari sisi kemampuan si pematung menangkap proporsi anatomi, kedua kehalusan tangan si pengukir dalam menampilkan setiap elemen detail sampai yang sangat kecil sekalipun. Tapi akhir-akhir ini mulai banyak cinderamata berbentuk ukiran yang kualitasnya lebih rendah, baik dari bahan maupun detail pengerjaannya. Tentu saja dipasarkan dengan harga yang lebih rendah pula, sehingga saya fikir ya wajar-wajar saja, toh pengunjung pulau Bali bukan hanya kalangan berkantong tebal tetapi juga anak-anak sekolah yang orang tuanya bahkan harus berutang supaya bisa membiayai anaknya berkarya wisata dengan rombongan sekolahnya. Tetapi yang paling mengusik saya sebetulnya adalah ukiran berkualitas rendah berbentuk alat kelamin pria yang banyak dijajakan di pusat-pusat perdagangan cindera mata. Baik di pasar tradisional seperti Sukawati, Guwang, dan Kumbasari, di tempat-tempat wisata termasuk kawasan wisata suci seperti Tanah Lot, dan di toko-toko cindera mata modern bergaya supermarket yang akhir-akhir ini marak bermunculan. Mestinya karena sudah sering melihatnya di banyak tempat, mata saya mulai terbiasa. Bisa jadi memang begitu, tapi melihatnya dalam ukuran raksasa terpajang di depan sebuah toko cinderamata di kawasan Kesiman tetap membuat saya bergidik. Sebagai orang luar - bukan orang Bali maksudnya - saya merasa ini menodai keagungan tradisi budaya Bali yang terkenal bukan hanya di seantero negeri tapi di seluruh muka bumi. Apakah ini benar-benar merupakan bagian dari kebudayaan atau justru pertanda degradasi budaya yang kalah tergerus jaman yang memang semakin lama semakin sulit untuk dimengerti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H