Jam sudah menunjukkan pukul 04.16 sore tapi Ibu Wayan belum juga beranjak dari tempatnya berjongkok sedari siang tadi. Wanita berusia 40an tahun itu masih tekun memilih batu dengan warna pekat berkilau yang terbawa arus laut hingga ke tepian. Berbekal sebuah besek (sejenis wadah dari anyaman bambu), Ibu Wayan mengumpulkan batu-batu berukuran kecil itu ke dalam sebuah karung yang nantinya akan dijual kepada pengepul.
[caption id="attachment_332473" align="aligncenter" width="600" caption="Batu-batu yang disortir menurut jenis dan ukurannya"][/caption]
Selain keindahannya pantai Ketewel juga memiliki keunikan lain. Sebut saja desa nelayan yang apik menyembunyikan pesona pantai ini. Serta muara sungai sebagai pembatas wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Gianyar yang sekaligus merupakan surga bagi anak-anak nelayan disitu ketika tiba waktunya bermain air. Aktifitas mengumpulkan batu laut untuk dijual juga salah satu keunikan lain yang dimiliki pantai Ketewel, sebuah pantai di pesisir timur Bali.
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Anak-anak bermain air di muara sungai"]
Ibu Wayan bukanlah satu-satunya orang yang mengumpulkan batu-batu di pantai itu. Ada beberapa warga lain yang ikut bersamanya mengumpulkan batu-batu itu yang rata-rata seusia Ibu Wayan. Satu atau dua diantaranya malah sudah berusia lanjut namun masih cukup kuat menekuni pekerjaan ini. Kalau Ibu Wayan hanya berbekal besek, warga yang lain ada yang membawa ember kecil dan sejenis alat untuk mengayak, untuk memisahkan batu-batu kecil dari yang besar dengan lebih cepat.
[caption id="attachment_332474" align="aligncenter" width="600" caption="Ayakan yang dipakai untuk "]
Mereka memulai aktifitas itu sejak pukul 6 atau 7 pagi, sebelum ombak mulai besar. Istirahat sebentar di siang hari lalu dilanjutkan dengan ‘sesi’ kedua sekitar pukul 2 siang – ketika ombak kembali bersahabat, hingga senja. Tak ada yang mengkoordinir secara khusus, kegiatan mengumpulkan batu ini mereka lakukan atas keinginan sendiri dengan harapan mendapat tambahan penghasilan sekedarnya. Sehingga belum tentu pekerjaan ini mereka lakukan rutin setiap hari, tergantung cuaca dan keras tidaknya ombak pantai Ketewel.
[caption id="attachment_332475" align="aligncenter" width="600" caption="Mengumpulkan batu, dilakukan Ibu Wayan rata-rata 10 jam setiap harinya, jika cuaca cukup mendukung."]
Batu-batu yang sudah terkumpul sekarung penuh kemudian dijual kepada pengepul dengan harga bervariasi menurut jenisnya, mulai dari 25,000 rupiah hingga ratusan ribu per karungnya. Semakin kecil, halus dan berukuran nyaris sama serta tanpa cacat akan semakin mahal harganya. Batu-batu ini nantinya akan dipakai sebagai pelengkap dekorasi taman, jalan setapak pengganti paving maupun hiasan pada dinding yang sering terlihat pada bangunan villa-villa pribadi.
Pantai Ketewel memang tak seramai pantai Lebih atau pantai Masceti dimana warga sekitar bisa mencari tambahan penghasilan dengan membuka warung-warung makanan atau minuman bagi pengunjung yang datang. Namun Ibu Wayan bersama warga lain yang bermukim di sekitar pantai ini bisa melihat peluang penghasilan lain dari mengumpulkan batu meskipun hasilnya tak menentu. Sisi baiknya, aktifitas ini tak sampai mengeksploitasi potensi yang ada di pantai Ketewel karena ini dilakukan atas keinginan sendiri tanpa interfensi pihak-pihak yang merasa berkepentingan. Sehingga kecantikan panorama pantai Ketewel tetap terjaga hingga sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H