Mohon tunggu...
Fantasia Imanda Putri
Fantasia Imanda Putri Mohon Tunggu... Freelancer - Profil Baca

Musik, suka buat film pendek, suka foto-foto. Everything that makes me greater.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jakarta Tanpa Dekapan Ibu

5 Agustus 2018   01:33 Diperbarui: 5 Agustus 2018   01:50 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu. Sangat pagi sekali. Dari jiwa yang masih tertidur karena lelahnya mengejar waktu. Separuh harapan sudah kugantungkan pada yang benar; benar akan menjamin hidupku kelak. Dan aku selalu terngiang dengan berbagai beban yang harus dijalani meskipun nampaknya orang dewasa diatasku masih menganggap itu hal yang biasa. 

Jakarta, tempat kali pertama aku menginjakkan kaki. Meneruskan perjalananku sebagai seorang pembelajar. Statusku berubah karena tinggal di Jakarta ini. Dulu serasa aku bukan siapa-siapa. Setelah menjajak diri menjadi orang Jakarta, aku merasa dipentingkan. Pandangan menjadi terbuka lebar. Tak peduli lagi lidah orang-orang yang dulu sempat melukai perasaan. Jika aku bertemu mereka: Lihatlah! Lihatlah aku yang sekarang! Kau pasti enggan untuk berkata apa-apa! 

Namun, tak bisa dipungkiri omongan orang yang kudengar waktu itu. Di Jakarta ini tetaplah untuk berhati-hati. Membidik langkah agar tidak salah langkah. 

Masih dengan pagi. Aku melihat kaki-kaki orang dewasa bertebaran, berjalan kemana-mana. Hendaknya mereka punya suatu urusan yang penting. Dan aku sebagai pemerhati orang-orang saja. 

Dalam sebuh perjalanan, di sebuah kereta. Kanan-kiri sudah ramai orang saling menunggu kedatangan kereta. Orang di sebelahku sudah berpindah posisi dan semakin lama tidak ada ruang yang tersisa. Angan untuk kembali ke rumah semakin besar. Sejujurnya aku ingin pulang, benar ingin pulang, meskipun belum membawa apa-apa. 

Pada kereta yang terus melaju itu, aku kembali teringat biaya hidup. Yang sebenarnya tak ada bapak-ibu dibelakangku untuk memberi tahu. Dan masalah utang-piutang. Mengingat bapak tak punya biaya yang besar... aku harus mencari tambahan sendiri. 

Dan aku pada ke-keraskepala-anku. Kesendirian dan kebebasan yang kualami sekarang ini, terutama di kota ini, membuatku semakin melanggar. Melanggar dan melanggar kembali. Aku tersadar tak ada bapak-ibu yang bisa memberi nasihat. Begini mungkin jika lama-lama sendiri tanpa bapak-ibu. 

Ingatanku berpindah ke yang lain lagi. Jika kuingat sedikit saja tentang laki-laki yang sempat aku bertemu dengannya: benar-benar tak tahu malu! Pertemuan yang sia-sia. Saat malam sudah hampir mau habis, kembali aku menangis. Mana lagi orang seperti itu? Ingin kuinjak saja! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun