Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa rumah kami akan bertetangga - cuma jarak lima langkah - dengan sebuah mall besar. Tepatnya, rumah kami sekarang ada di belakang tembok Mall Arsitiai yang berlantai enam yang baru beberapa bulan beroperasi. Tapi, tentu tak boleh asal main lompat tembok kalau mau ke mall. Harus berjalan dulu mengelilingi jalan di belakang, sisi kiri dan depan mall sebelum masuk lewat pintu utama.Bukan tentang mallnya aku hendak bercerita. Juga bukan tentang supermarketnya di mana kami sekarang melakukan belanja bulanan. Tapi, tentang food courtnya yang berhadap-hadapan dengan supermarket tersebut. Food court itu dikelola oleh suatu jaringan bernama "Kali-kali Foodcourt International" yang punya identitas berupa simbol kali "X" tebal berwarna merah. Tanda "X" mendominasi meja makan, punggung kursi-kursi dan dinding. Tanda yang sama juga bertebaran di daftar menu dan bon makanan bersama tulisan XFI. (XFI itu jadi brand dari food court mereka).
Food court itu tidak begitu luas karena berbagi lantai dengan supermarket, tapi ada hal yang tak biasa di sana. Di pintu masuk food court pengunjung disambut senyuman oleh beberapa SPG cantik dan dihadiahi satu sachet shampo. Gak tahu apa hubungannya. Emangnya shampo bisa dipakai untuk cuci tangan sebelum makan ? Dan ketika pengunjung sedang makan atau minum, akan berseliweran gadis-gadis berseragam kuning menawarkan kartu perdana dan pulsa telepon genggam.
Konon - menurut informasi yang disebarkan di beberapa tempat di dalam mall - food court akan ditata dengan konsep khusus : akan ada satu main tenant yang menempati lokasi di tengah ruangan yang posisinya ditinggikan seperti panggung, sedangkan yang lain akan ditempatkan di bagian tepi. Sekarang di tengah-tengah ruangan itu hanya ada konter minuman yang dioperasikan sendiri oleh jaringan food court tersebut, sedangkan semua food stall disebarkan di keempat sudut ruangan.
Mall Arsitiai dan XFI Food Court itu memang ramai dikunjungi dan dagangan apa pun di sana tampaknya pasti akan laris. Namun, harus diakui juga bahwa XFI memang sangat selektif memilih pedagang makanan yang boleh berjualan di food courtnya. Boleh dibilang, semua makanan yang ada di sana lezat luar biasa.
Untuk menentukan counter makanan yang akan menempati pusat ruangan dan mendapat lantai terluas, tidak dilakukan berdasarkan kesediaan membayar sewa yang lebih tinggi dalam $/sqft, tapi ditentukan melalui proses mirip sebuah sayembara. Sang pengelola XFI yang bekerjasana dengan Mall Arsitiai, namanya Babah Cowel, mengadakan kompetisi bagi para tenant : siapa yang paling banyak mendatangkan pengunjung ke foodcourt boleh menggunakan center stage tersebut secara eksklusif tanpa menaikkan biaya sewa ataupun service charge. Setiap Jumat malam (sekali seminggu) si Babah akan memeriksa jumlah kunjungan pelanggan setiap lapak; pedagang yang jumlah pengunjungnya selama seminggu terrendah akan diputus kontraknya, untuk sementara tak diperbolehkan berjualan lagi.
Babah Cowel orang bisnis tulen. Dia tak menghitung kunjungan ke lapak berdasarkan omzet penjualan makanan masing-masing lapak atau mencacah jumlah orang yang memesan di sebuah counter, tapi berdasarkan pesanan minuman dari masing-masing lapak. Karena pedagang tidak dibolehkan menjual minuman sendiri, jelaslah XFI mendapatkan keuntungan berlimpah dari bisnis minumannya selain pemasukan dari sewa lantai.
Metoda perhitungan jumlah pelanggan ini memang aneh, tapi para pedagang tak bisa protes. Nah, agar pemilik kedai makanan boleh terus berdagang di XFI Food Court, para pedagang mendorong para pelanggannya untuk banyak minum. Memang jadi aneh, ada pengunjung yang menghabiskan enam atau tujuh gelas minuman karena dibujuk oleh pedagang tempatnya memesan makanan.
Pada awalnya ada 13 lapak di sana. Dilihat dari susunan lapak, sebenarnya ada 4 klaster pedagang makanan yang berjualan di sana. Masing-masing klaster menempati salah satu pojok food court. Belakangan aku tahu bahwa sebenarnya lapak-lapak dalam satu klaster masih terbilang satu grup usaha. Setiap lapak adalah entitas bisnis yang berdiri sendiri. Meskipun bersaing untuk merebut pelanggan dan merebut tempat di tengah ruangan, mereka terlihat bekerja sama untuk beberapa hal. Masing-masing klaster punya seorang pemimpin, ada kemungkinan dia investor yang punya saham di setiap lapak di klasternya.
Di pojok arah kiri dari pintu masuk ada tiga lapak, entah kebetulan atau tidak, yang jadi bos grup usaha dan yang jadi pedagang semuanya perempuan. Bos perempuan yang kelihatan ayu adalah mantan juragan tahu di Sumedang dan ekspansi ke ibukota. Para wanita itu mengusahakan makanan yang berbeda-beda : seorang gadis muda yang wajahnya masih kelihatan unyu-unyu dan berhijab menjual makanan yang relatif ringan seperti colenak, cilok dan cireng. Satunya lagi, bertubuh gempal sexy berkacamata, menjajakan pempek komplit : lenjer, kapal selam, apa saja ada. Yang seorang lagi jualan pecel lele dan burung dara goreng.
Di pojok arah kanan dari pintu masuk ada tiga lapak yang dikomandoi oleh seorang lelaki berrambut punk dan suka berbaju jaket hitam, bersepatu boot. Lapak di klaster ini terlihat ramai bahkan ketika tidak ada pengunjung, maklum setiap lapak penjaganya juga ramai. Ada lapak yang dijagai enam cewek bening yang berjualan kupat tahu, batagor dan siomay. Lapak yang lain dijagai empat gadis yang berjualan nasi timbel komplit. Lapak terakhir di sudut ini dikelola empat anak muda yang badannya rata-rata tinggi besar, jualannya aneka soto : mulai dari soto Gubeng khas Surabaya hingga coto Makasar.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!