Di lobby sebuah penginapan di daerah Bukit Mertajam Penang (Malaysia) seorang pasien rumah sakit dari sebuah ibukota provinsi di Indonesia berbagi cerita di antara tamu hotel yang seluruhnya pasien dan keluarga pasien dari tanah air.
Konon, ketika dokumen hasil diagnosis dan medical check up yang dibawanya dari rumah sakit di Penang ditunjukkan ke dokter di Indonesia untuk membuktikan sakit yang dideritanya, sang dokter menolak menggunakan rekaman medis tersebut. Dokter menyebut hasil tersebut sebagai "sampah" dan pemeriksaan ulang harus dilakukan di laboratorium di rumah sakit tempat dokter berpraktik. Menurut sang dokter, rumah sakit di Penang juga melakukan hal yang sama pada rekam medis dari Indonesia dan sebagai "balasan" maka dokter Indonesia juga menolak mengakui hasil dari rumah sakit di Malaysia.
Sebagai orang awam akan kode etik dan prosedur kedokteran, sang pasien hanya bisa manut. Namun, terbersit tanya, berdosakah mencari pengobatan ke negeri orang dan melanjutkannya di negeri sendiri ? Apakah "ilmu" kedokteran di negara yang berbeda sedemikian berbeda sehingga tak mau mengakui satu keahlian satu sama lain ?
Jika mau membandingkan antara kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dengan di Malaysia, secara umum dunia internasional lebih mengakui Malaysia dibandingkan dengan Indonesia. Dengan mudah pula bisa dilihat aliran keluar orang untuk berobat dari kota-kota di Sumatera ke Penang dan Malaka serta dari Kalimatan Barat ke Kuching (Serawak) jauh melampaui (mungkin mendekati "nol") dari arah sebaliknya .
Buku dan situs Patinet Beyond Borders memasukkan Malaysia sebagai salah satu dari tujuan wisata kesehatan bersama Singapura dan Thailand. Bahkan, Majalah International Living pada bulan Januari 2017 menempatkan Malaysia sebagai negeri dengan healthcare terbaik di dunia (dengan kriteria biaya dan kualitas). International Medical Travel Journal (IMTJ) pada bulan April 2017 menganugerahkan penghargaan "Health and Medical Tourism Destination of the Year" - ini adalah untuk kali ketiga, setelah Malaysia mendapatkan pengakuan yang sama secara berturut-turut tahun lalu dan tahun sebelumnya.
Pengakuan kualitas fasilitas dan layanan kesehatan di Malaysia juga dapat dilihat dari semakin banyaknya rumah sakit dan klinik di Malaysia yang diakreditasi oleh Joint Commission International (JCI) - sebuah lembaga yang diakui internasional untuk memberikan akreditasi dan sertifikasi atas fasilitas dan layanan kesehatan. Ada 14 rumah sakit, klinik dan laboratorium yang telah mendapat akreditasi JCI. Kelebihan lain dari rumah sakit di Malaysia adalah banyaknya dokter spesialis yang mendapatkan spesialisasi dari Amerika Serikat, Inggris dan Australia, serta kefasihan mereka berbahasa Inggris.
Secara nominal, jumlah fasilitas kesehatan yang terakreditasi JCI di Malayasia masih lebih sedikit dibandingkan fasilitas kesehatan yang terakreditasi di Indonesia, yaitu sebanyak 25 lokasi (1 Batam, 2 Pekanbaru, 1 Palembang, 1 Banten, 3 Tangerang, 1 Bekasi, 9 Jakarta, 2 Bandung, 1 Semarang, 1 Yogyakarta, 1 Surabaya, 1 Bali, 1 Makasar). Namun, ratusan ribu warga Indonesia memadati klinik dan tempat tidur di rumah sakit Malaysia setiap tahun. Dari hampir 1 juta orang warga asing yang datang berobat di Malaysia, diperikirakan lebih dari 50% adalah warga Indonesia.Â
Bagi penduduk sekitar Sumatera Bagian Utara berobat ke Penang bisa lebih praktis,lebih murah dan lebih nyaman dibandingkan dengan berobat ke Jakarata atau sekitarnya. Begitu pula bagi warga sekitar Kepulauan Riau ke Malaka dan sekitar Kalimantan Barat ke Kuching. Tetapi, bukan hanya kepraktisan yang jadi pertimbangan, tetapi seringkali tingkat kepercayaan pada dokter dan fasilitas kesehatan di Malaysia juta lebih tinggi.
Pemerintah Malaysia sangat serius mengembangkan medical tourism dan telah menjadikan industri ini sebagai salah satu dari 12 bidang ekonomi utama. Promosi (antara lain dengan membentuk MHTC - Malaysia Healthcare Travel Council), perbaikan fasilitas transportasi, penyediaan fasilitas dan bahkan pembebasan pajak penghasilan atas pendapatan dari pasien asing memicu tumbuhnya industri wisata kesehatan di Malaysia. Biaya perawatan kesehatan di Malaysia jauh lebih rendah dibandingkan di negara maju dan negara lain di sekitarnya (Bandingkan : seorang pasien dari Amerika Serikat dapat menghemat sekitar 65% - 80% jika berobat di Malaysia, menghemat 50%-75 jika berobat di Thailand, menghemat 25%-40% jika berobat di Singapura dibandingkan dengan berobat di negerinya). Dengan target pertumbuhan 30,05% per tahun, industri ini diharapkan akan menciptakan nilai ekonomi sebesar US$ 3,5 milyar pada tahun 2024 (dari USD 424,96 juta pada tahun 2016).
Sebuah contoh kecil yang membuat "wisata kesehatan" ke Malaysia menjadi sangat menarik adalah promosi medical check up yang dilakukan oleh Rumah Sakit KPJ Penang (berakreditasi JCI). Dengan biaya RM 165 (sekitar Rp. 500 ribu), seorang pasien dari Indonesia bisa mendapatkan pemeriksaan darah lengkap (haematology, white blood differential count, renal function, renal profile, lipid profile, liver function), pemeriksaan urin (mikroskopik), foto torak (x-ray), pemeriksaan EKG (electrocardiography) dan konsultasi dokter. Dengan biaya penginapan sekitar Rp. 200.000 per malam dan tiket pesawat (di luar masa puncak) Â KNO Medan - Penang pergi pulang sekitar Rp. 800.000, maka seorang pasien dari Sumatera Utara ber"modal" kurang dari Rp. 2 juta sudah bisa mendapatkan pemeriksaan kesehatan di rumah sakit bertaraf internasional plus berpesiar di negeri jiran. Layanan rumah sakit sudah mencakup antar jemput dari dan ke bandara, serta dari dan ke penginapan selama masa pemeriksaan.Â
Jika hasil diagnosis "wisatawan manca negara" ini menunjukkkan adanya penyakit tertentu yang memerlukan tindakan lanjut dan kemudian menjalani pengobatan di dalam negeri atas dasar biaya (mungkin karena ditanggung BPJS Kesehatan), elokkah dokter kita menganggap hasil pemeriksaan kesehatan tersebut sebagai dokumen "sampah" ?