Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Jalan-jalan ala Emak-emak ke Luar Negeri (Episode 2 - Shenzhen)

25 Juni 2013   12:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:27 6573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dituturkan oleh  #G, ditulis oleh Fantasi) ...   lanjutan dari Episode 1 - Hong Kong - HARI KETIGA - 14 Juni 2013 Dari Hong Kong seharusnya, menurut rencana, kami berangkat sore hari sehingga bisa tiba di Shenzhen sebelum gelap. Kenyataannya, kami baru berangkat menjelang malam, dan di sinilah kami...keluar dari Stasiun Kereta Lo Wu dan Imigrasi sudah larut malam. Dalam itenary kami telah merencanakan untuk berjalan ke Stasiun Luo Hu dan naik Metro (penyebutan MTR/MRT di Shenzhen) menuju hotel tempat kami akan menginap selama 2 malam di Shenzhen. Sengaja kami memesan Hotel ZTL yang dekat - hanya beberapa meter - dari Stasiun Lao Jie dan bertetangga dengan Dongmen Street yang merupakan salah satu pusat belanja di Shenzhen. Dari Stasiun Luo Hu ke Stasiun Lao Jie hanya berjarak dua stasiun, dapat ditempuh hanya dalam waktu kurang dari 4 menit. Tapi, para pembawa koper jumbo menyatakan keberatan untuk berjalan kaki ke Stasiun Luo Hu dan mengajukan judicial review mengenai kebijakan naik Metro ke hotel. Dukungan atas judicial review tersebut datang pula dari Tante Acim yang tak nyaman dengan betisnya yang terasa pegal. Tak beda dengan di negeri kita, taksi tak resmi sudah berjubel menunggu di luar stasiun. Kami mau mencari taksi reguler, tapi tak tahu mereka ngetem di sebelah mana. Rasa lelah berpadu ketidaksabaran membuat kami memanggil salah seorang yang menawar-nawarkan jasa taksi gelap. Kami menunjukkan print-out bertuliskan nama dan alamat hotel kami dalam huruf China yang sudah kami siapkan sebelumnya. Si calo bisa berbahasa Inggris, dan menanyakan jumlah kami dan banyaknya bawaan kami. Dia menunjuk sebuah minivan dan bilang mengatakan kami akan bisa terangkut dalam satu kendaraan. So, how much ? "Two hundred," sahutnya sambil memberi isyarat angka 2 jarinya. Hitungan dengan mental aritmatika, itu berarti sekitar Rp. 320 ribu-an. Gak kemahalan, tuh ? pikirku. Riyana menawar 150 Yuan dan disetujui langsung oleh si calo. Aku protes, menurutku masih kemahalan, minta 100 Yuan!  Si calo akhirnya mengambil jalan tengah dan bilang, kira-kira begini : "Mbak-mbak yang ayu, kita hitung mudah saja, masing-masing Mbak bayar 20 Yuan, jadi seluruhnya 120 Yuan. Deal ?" Akhirnya alternatif naik taksi CNY 120 dipilih dan mengalahkan alternatif naik Metro yang hanya CNY 12 untuk berenam. Kamar di ZTL jauh lebih besar dari kamar kami di Hong Kong. 30 meter persegi. Fasilitasnya sama lengkap dan kondisi kamar juga sangat bersih; dan, tarifnya sedikit lebih murah. Pertanda baik : Shenzhen jauh lebih murah dari Hong Kong. Lega rasanya setelah menempuh perjalanan panjang, sekarang bisa tidur di kamar yang nyaman dan lapang. Kami bergantian memijit kaki dan punggung satu sama lain; besok kami akan memerlukan kekuatan untuk menaklukkan Shenzhen. - HARI KEEMPAT - 15 Juni 2013 Pagi hari pukul setengah tujuh aku, Tina dan Tante Acim yang tidur sekamar sudah bangun. Mandi. Segar. Hi, Shenzhen, are your ready to welcome us  ? Menurut rencana, hari ini kami akan mengunjungi Window of the World dan Splendid China yang merupakan tujuan wisata populer di Shenzhen. Pukul 08.00 aku mengetuk kamar Riyana untuk mengajak keluar. Dia juga sudah siap. Tapi, ternyata Tante Mary masih kelelahan dan ingin beristirahat dulu. Rencana diubah. Hari ini dipakai untuk berbelanja; besok ke Window of the World dan Splendid China. Riyana menyarankan aku, Tina dan Tante Acim berangkat lebih dahulu. Tak mengapa terpisah. Pusat pertokoan Dongmen ada di sebelah hotel; mudah untuk pergi dan pulang dari hotel ke pusat perbelanjaan. Keluar hotel kami bertiga mencari makan dulu. Tak jauh kami menemukan sebuah kedai makanan yang telah buka. Masih dengan bahasa Tarzan kami berhasil memesan sarapan pagi. Rasanya...mmm...masih lebih enak makanan Chinese food di Indonesia. Agak geuleuh melihat kaki ayam yang ada di salah satu mangkuk makanan kami. Kukunya masih ada. Tampaknya ayam tersebut belum sempat menjalani perawatan pedicure sebelum disembelih. Dongmen memang surganya belanja. Apapun tampaknya ada. Baju, tas, sepatu, aksesori,... semua tersedia. Dan harganya, wow... terasa murah banget. Karena aku memang tidak merencanakan belanja besar-besaran, aku hanya membeli beberapa barang untuk sendiri dan untuk buah tangan sebatas budget uang Yuan sudah aku persiapkan. Tina dan Tante Acim memiliki keleluasan anggaran yang lebih besar; mereka bersemangat membeli cukup banyak barang. Tengah hari kami beristirahat sejenak. Bosan dengan Chinese food, kami makan siang di McDonald. Setelah menyimpan belanjaan ke hotel, kami mengambil taksi menuju Luo Hu. Kami membayar CNY 30. Di sana ada  KK Mall yang menjual barang-barang ber-merek internasional. Bagus-bagus dan sangat menarik memang, tetapi harganya jauh dari budget kami meskipun mungkin lebih murah daripada kalau membeli di Indonesia. Kami hanya melihat-lihat dan dengan taksi kami kembali ke Dongmen. Tina dan Tante Acim kembali membeli barang-barang yang sebelumnya telah mereka "keceng". Sekitar pukul 9 malam, kami menyerah. Di hotel telah ada Riyana, Tante Mary dan Icha; mereka juga seharian berbelanja di Dongmen. Tante Mary tampaknya memborong banyak oleh-oleh untuk anak dan cucu.
- HARI KELIMA - 16 Juni 2013 Belanja sudah kemarin. Ini waktunya melihat pesona dunia di Window of the World dan pesona China di Splendid China. Namun, ketika mengajak Riyana dan keluarganya untuk berangkat, ternyata mereka mengatakan tak akan pergi ke sana. Sebagai gantinya...mereka berencana hendak berbelanja lagi. Jadinya, hanya aku, Tina dan Tante Acim yang akan berangkat. Sebelum berangkat, kami melapor check-out dan membayar kamar kami; seperti di Hong Kong, koper-koper kami titipkan di front desk. Menyeberang pertokoan, kami segera tiba di Stasiun Lao Jie dan menaiki Metro Luobao arah Bandara dan turun di stasiun Stasiun Windows of the World yang merupakan perhentian kedua belas. Begitu naik dari stasiun Metro langsung tiba di gapura Windows of the World. Kami membayar tiket masuk seharga CNY 160 per orang. Berbagai  miniatur bangunan terkenal di dunia ada di sini. Mulai dari Menara Eiffel, Menara Pisa, piramida dan sphinx Mesir, Taj Mahl, air terjun Niagara, colloseum Romawi,. ... ,apa lagi ya, pokoknya banyak banget :-) ...oh ya...termasuk Borobudur. Arealnya sangat luas; tak kuat berjalan kaki dan untuk menghemat waktu kami memutuskan menaiki odong-odong :-) untuk melihat-lihat sebanyak-banyaknya bagunan yang dipamerkan secara cepat. Untuk berkeliling sekitar 15 menit kami membayar CNY 20 per orang.
Menurut rencana, kami akan langsung ke Splendid China yang tak jauh dari Window of the World. Tetapi, Tante Acim dan Tina tampak tak begitu bersemangat, mereka merasa lelah; rencana itu kami batalkan. Kami kembali naik metro ke Stasiun Lao Jie. Begitu  keluar dari stasiun, pertokoan Dongmen kembali menyambut. Kami kembali menyusuri toko-toko pakaian dan fashion yang seperti tak habis-habisnya  dengan berbagai tawaran harga yang memikat. Suasana pasar dan pesona barang-barang murah tampaknya membangkitkan kembali roh pembelanja di dalam diri mereka; penuh gairah mereka melompat dari satu toko ke toko lain, memeriksa harga, mengelus-elus barang yang menarik, menawar, dan membeli beberapa barang. Aku lebih banyak window shopping, maklum budget terbatas :-). Aku membeli sebuah koper kabin yang tampak bagus dengan harga relatif murah.
Pulang ke hotel kami menenteng barang belanjaan. Karena ZTL ada di daerah Dongmen kami cukup berjalan kaki. Kami menyusun barang bawaan dalam koper masing-masing. Koper Tina ukuran jumbo sudah berisi penuh, demikian juga koper berukuran sedang bermotif Winnie the Pooh yang baru dibelinya. Tante Acim mengeluh, karena koper lama dan koper barunya tidak cukup besar untuk mengakomodasikan barang-barang yang diakuisisinya di Dongmen kemarin dan hari ini. Ia mengajakku kembali ke pasar untuk mencari koper lagi. Inilah ruginya (untungnya?) menginap dekat pusat perbelanjaan. Tinggal melenggang, semua yang diinginkan ada.  Tante membeli koper yang identik dengan yang aku beli. Kembali lagi ke hotel. Membereskan semua barang bawaan dan siap berangkat ke terminal ferry. Namun, mendadak Riyana, Icha dan Tante Mary bilang mereka perlu ke pasar lagi untuk membeli sesuatu. Nah, lho, gantian. Sebentar saja.... Sementara menunggu,  Tina kebelet ingin ke kamar kecil. Karena kami sudah check-out, kami tak punya kamar lagi. Tina bertanya pada sang resepsionis yang sedang bertugas," Where is the toilet, please?" Sang resepsionis kebingungan, tak bisa berbahasa Inggris. Tampaknya dia masih junior. Dia coba bertanya pada temannya. Sama bingungnya; mereka berbicara dalam bahasa China. Tina coba menjelaskan," Restroom. Where is the restroom, please?"  Wajah sang resepsionis dan temannya tetap blank dan mereka mencoba membahas dalam bahasa yang tak kami mengerti. Tak sabar, Tina meminta perhatian sang resepsionis," Look! Do you know where to ...", lalu Tina berdiri tegak, memeragakan orang sedang mengangkat rok dan kemudian menurunkan bokong menirukan gaya orang yang akan buang air. Tokcer! Sang resepsionis dan temannya tertawa dan wajah mereka riang seperti mendapat pencerahan; mereka bersemangat menunjuk-nunjuk ke arah salah satu koridor. Tina bergegas ke arah yang ditunjuk untuk menunaikan panggilan alam. Menunggu Riyana and family kembali ternyata lama juga. Sudah hampir pukul 19.00. Seorang tamu hotel - belakangan kami tahu turis dari Malaysia - menanyakan rencana perjalanan kami. Kami jelaskan kami akan ke Macau naik ferry. Dia mengatakan sudah terlalu sore untuk mengambil ferry. Lagi pula ferry sangat penuh, tadi ada orang yang kembali karena tidak kebagian tempat. Mendengar hal itu, kami terhenyak. Satu-satunya moda transportasi yang kami tahu dan rencanakan untuk melanjutkan perjalanan ke Macau hanya ferry. Sang turis mengatakan kami bisa naik bis. Nanti turun di Zhuhai - itu kota di China yang berbatasan dengan Macau - dan dari sana tinggal ambil taksi ke hotel. Terminal bis ke Zhuhai ada di Luo Hu. Riyana  dan rombongan tiba. Alamak...mereka membawa koper super jumbo. Ternyata set tiga koper : di dalam super jumbo ada koper sedang dan di dalamnya lagi ada koper yang lebih kecil. Cantik sekali, seperti koper selebriti dan bahannya pun terlihat kuat dan mewah. Kata Tante Mary harganya benar-benar murah. Dia sebenarnya ingin membeli dua set, tapi bingung bagaimana nanti membawanya. Setelah menata ulang barang-barang di koper baru dan koper lama, keluarga Riyana akhirnya membawa dua koper besar (satunya si super jumbo) dan dua koper sedang; itu di luar ransel yang disandang Riyana dan Icha. Jika ditambahkan dua koper Tina, tiga koper Tante Acim dan satu koperku, maka rombongan kami terlihat mirip delegasi emak-emak yang akan menjelajah setengah keliling bumi. Kami melaporkan situasi yang kami hadapi kepada Riyana. Tak ada lagi ferry.  Ada alternatif  naik bis. Duhai, Zhuhai!  Mengapa pula kami harus ke Zhuhai; nama yang asing dan kami harus ke sana malam begini. Rasa takut dan kuatir menghinggapi kami semua. Setelah menenangkan diri kami  memutuskan untuk mulai bergerak : pertama-tama ke Luo Hu, ke terminal bis. Kami memanggil taksi, mustahil naik metro dengan bawaan seabreg-abreg begitu. Dua taksi : Riyana dan keluarga berangkat duluan, kami mendapat taksi belakangan. Di terminal bis kami menemui Riyana yang terlihat stress. Seseorang di terminal memberitahunya bahwa naik bus akan makan waktu lama, sekitar empat jam dan juga stasiun bis jauh dari pintu perbatasan. Lebih baik naik taksi saja. Carteran. Rapat paripurna darurat segera digelar. Diputuskan aklamasi : Ke Macau dengan menyewa mobil. Seorang lelaki muda mendekati kami. Nah, calonya datang. Bisa berbahasa Inggris. Kami jelaskan kami akan Macau; dia menawarkan taksi (minivan) yang bisa mengangkut kami sekaligus hingga Zhuhai. Dia minta CNY 1000; tawar menawar, dia setuju CNY 600. Dia bilang taksinya ada di seberang jalan dekat Hotel Shangrila. Dia membantu kami membawakan koper besar. Berderet-deret kami menggerek koper masing-masing. Kami menunggu di tepi jalan sementara sang calo menjemput mobil. Tak lama kemudian muncul sebuah minivan. Supirnya turun dan tampak kaget ketika melihat rombongan kami. Apa yang salah ?  Calo berbicara dengan sang supir dalam bahasa China; kami tak mengerti sama sekali. Namun dari isyarat tangan kami bisa menyimpulkan sang sopir menolak membawa kami, karena banyaknya barang bawaan. Kami coba jelaskan melalui sang calo, bahwa kami tak keberatan memangku sebagian barang. Sang sopir tetap tak sudi mengangkut kami, akhirnya mengeloyor membawa pergi mobilnya. Aduh... Sang calo mendatangi kerumunan kami dan mengatakan akan cari mobil lain. Kami pasrah saja. Memangnya bisa apa lagi ? Tak tahu kemana sang calo pergi; tapi lama tak kembali juga. Tampaknya dia sudah meninggalkan kami. Kami putus asa. Harus kemana sekarang ?  Ekspresi lesu dan takut menggayut di wajah kami semua. Aku dan Riyana yang de facto menjadi pimpinan rombongan tak tahu harus bagaimana. Haruskah kami mencari hotel lagi dan menginap di Shenzhen malam ini ? Atau kembali ke terminal bis ? Atau adakah calo lain ? Bagaimana menemukan calo di belantara negeri yang tak kami mengerti bahasanya ini ? Di samping kegundahan itu, kami juga merasa sangat rugi jika sampai kehilangan satu malam hotel di Macau yang sudah kami pesan dan bayar lunas dengan harga yang mahal . Di puncak kekalutan, sebuah minivan melambat dekat kami. Seseorang keluar. Sang calo! Sedikit lega. Dia bilang perlu waktu cari mobil mendadak malam-malam begini. Untungnya ada temannya yang bisa mengantarkan kami ke tujuan. Cuma dia minta tambahan dari CNY 600 yang disepakati sebelumnya. Bernegosiasi dengan sang calo tak begitu alot : ongkos taksi CNY 700 dan fee bagi intermediate agent CNY 50; biaya-biaya tol sepanjang jalan menjadi tanggungan kami. Deal ! Kami lega. Satu per satu koper disusun. Memang luar biasa makan tempat; jadinya duduk berdesakan. Tapi, ini jauh lebih baik daripada terlunta-lunta di tengah malam di negeri asing. Perasaan lega mulai mengalir di pembuluh darah dan pembuluh otak kami. Akhirnya ber.... Oh,oh,...ternyata ini belum berakhir. Riyana yang duduk dekat supir berbincang dengan sang sopir (yang bisa berbahasa Inggris dengan terbata-bata) meminta perhatian kami : ada masalah. Kata sang sopir dia belum pernah bawa mobil ke Zhuhai. Lha ?!$* Jadi, nanti dia akan minta saudaranya untuk menggantikan.  Aku yang pernah terkatung-katung di Surat Thani Thailand karena di-oper sana-sini oleh agen bis dalam perjalanan menuju Phuket mencium gelagat buruk. No,no,no, jangan sampai hal itu terulang kembali. Kami mendesak Riyana agar membujuk sang sopir untuk tidak menyerahkan kami kepada orang lain. Horor menghantui : bagaimana kalau supir ini anggota  jaringan human trafficking :-) ? Laku 'gak emak-emak dijual ? Membayangkan kami akan jadi berita di koran-koran, apa kata suami dan anak-anak kami ? Dengan segenap kelihaian persuasi yang dimiliki oleh seorang bu dosen  dan dengan segala keterbatasan komunikasi verbal yang harus diperkuat dengan isyarat tangan dan mimik, Riyana berhasil membujuk sang supir untuk terus mengemudi. Dengan mengandalkan GPS yang tersedia di dashboard mobil dan seorang temannya yang bersedia memandu melalui telepon, akhirnya Sang Supir bersedia melanjutkan perjalanan. Kami yang duduk di belakang menyaksikan dengan hati berdebar manuver-manuver Riyana membujuk dan menghiba-hiba sebagai orang asing dan rombongan emak-emak lugu yang tak berdaya, yang terlantar di negeri antah berantah dan satu-satunya yang bisa kami percaya hanya Mas Supir yang baik hati. Sekitar dua jam di jalan yang relatif mulus dan sebuah ruas jalan tol yang menagih CNY 109, melalui beberapa wilayah yang kami tak tahu apa namanya, akhirnya kami tiba di Zhuhai. Sudah menjelang tengah malam. Imigrasi akan tutup pukul 24.00. Supir membawa kami ke dekat gedung imigrasi; tetapi masih terasa jauh untuk membawa setumpuk koper raksasa. Mana harus naik turun tangga pula. Benar-benar melelahkan. Di sekitar lokasi tampak kumuh dan terlihat orang-orang yang tak jelas sedang apa. Tinggal ada beberapa orang yang akan melintas perbatasan dan mengantri di depan kami di loket Imigrasi. Begitu kami selesai dilayani, loket-loket ditutup dan para pegawai Imigrasi tampak bergegas pergi. Terlambat sedikit lagi, kami tak akan bisa melintas, dan akan terlantar di Zhuhai.
Terasa seperti lolos dari lubang jarum. Macau sudah menanti di depan. ——————————– (Next Episode : Macau)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun