(dituturkan oleh #G, ditulis oleh Fantasi) - HARI PERTAMA - 12 Juni 2013 Pesawat Air Asia penerbangan QZ 8050 yang membawa rombongan kami - lima emak-emak dan satu remaja ting-ting - menjejakkan roda-rodanya dengan lembut di Bandara Kuala Lumpur. Kami akan menunggu di sini beberapa jam sebelum melanjutkan ke tujuan akhir. Meskipun tiket menyebutkan KUL (Kuala Lumpur) sebagai bandara transit, sebenarnya tempat kami akan menunggu pesawat lanjutan ada di Sepang, Low Cost Carrier Terminal. Akh, low cost... Tiket promo yang dipesan sejak akhir Februari yang lalu yang memungkinkan perjalanan ini sebenarnya tak low cost amat. Sekitar Rp. 1,9 juta-an (berangkat MES-HKG dan kembali MFM-MES) per orang jika tak menghitung bagasi dan pemesanan kursi. Tapi, mana bisa emak-emak bepergian tanpa bagasi. Mau membatasi pakaian yang dibawa ? Wah, bisa mati gaya kalau difoto dengan pakaian yang itu lagi itu lagi. Apalagi, ekspedisi ini akan mengunjungi tempat-tempat yang dikenal sebagai surga belanja. Alhasil, biaya tiket masing-masing harus ditambahkan Rp. 700 ribuan untuk pembayaran bagasi. Tentu saja bagasi pulang lebih berat daripada bagasi berangkat. Hmm...pintarnya Air Asia. Niat awal (gagasanku dengan teman baikku Riyana dan adikku Tina) untuk melakukan perjalanan sebagai backpacker berbiaya murah harus dikompromikan di sana-sini setelah bibiku Tante Acim serta ibu dan adik Riyana minta bergabung. Karena perbedaan kekuatan fisik dan selera di antara kami, ide backpacking harus ditinggal; tapi, biaya harus diupayakan tetap murah. Sejumlah batasan mengenai moda transportasi dan hotel yang akan digunakan sudah disusun. Bagaikan gado-gado yang dirancang oleh sebuah komite, jadilah perjalanan ini menjadi pengalaman yang lumayan unik, gabungan antara pengalaman backpacker dengan pengalaman jetsetter. Jetset ? Hahaha....Jetset dari Hong Kong ?! Eits, tunggu dulu, ini memang perjalanan - yang salah satunya - menjelajahi Hong Kong. Meskipun sejak pukul 03.30 kami sudah bangun untuk mengejar pesawat yang berangkat pukul 06.15, aku melihat semua tampak segar dan sumringah. Tina dan Tante Acim yang duduk sebaris denganku dengan bersemangat bangkit dari kursi begitu tanda pergunakan sabuk keselamatan dipadamkan. Di barisan di belakang kami, Riyana dengan ibunya Tante Mary dan adiknya Icha - satu-satunya yang belum masuk kategori emak-emak - juga sudah mengemasi tentengan masing-masing. Di pintu sebelum menuruni tangga pesawat Tina menyempatkan diri untuk memotret diri dengan Blackkberrynya. Tanpa SK, dia telah mengambil posisi sebagai bagian dokumentasi dalam rombongan. Tangga. Itulah layanan yang disediakan Air Asia untuk 'para penumpang yang kami hormati' untuk turun dari pesawat. Lanjut dengan berjalan kaki menuju terminal penumpang yang yang jaraknya entah berapa ratus meter. Tak ada bis. Hehehe. Bayar tiket promo, kok mau disediakan garbarata? Tak boleh protes. Tapi Tante Mary tak tahan untuk tak melontarkan kekesalannya, berhubung dia memang tak begitu kuat menggunakan kakinya. Sekitar empat jam kami harus menunggu sebagai penumpang transit. Sambil sarapan bubur ayam di sebuah cafe bandara, kami mendiskusikan itenary yang selama berminggu-minggu sudah aku susun bersama Riyana dengan matang dalam 3 pertemuan tingkat tinggi sambil menghabiskan bergelas-gelas kopi dan es krim. Maklumlah, kami berdua sebagai founding mothers dari rencana jalan-jalan ini dianggap sebagai komandan. Padahal, kami pun buta tentang tempat-tempat yang akan kami kunjungi. Pengalaman kami berdua sebelumnya ke luar negeri baru sebatas Malaysia, Singapura dan Thailand; itu pun selalu disertai oleh para suami yang praktis mengerjakan semua urusan. Kami mengandalkan buku panduan wisata dan curahan informasi dari Paman Google. Plus pengalaman beberapa teman yang pernah ke sana. Hambatan terbesar yang sudah kami khawatirkan adalah bahasa : tak seorang pun dari antara kami berenam bisa berbahasa Mandarin atau Hokkien. Banyak teman menganjurkan agar kami mencari guide atau ikut tour saja, tapi terlanjur sudah beli tiket promo dan tak dapat biro wisata yang bisa mengatur ground tour dengan biaya murah, akhirnya kami nekadkan untuk menjalani dengan swakelola. "Pesawat kita selanjutnya adalah AK1658, menurut jadwal akan take-off pukul 13.55 dan tiba di Hong Kong sekitar pukul 17.45," Riyana membacakan halaman pertama dari enam atau tujuh lembar tabel yang telah kami susun. "Dari bandara kita akan naik kereta...." Tante Acim dan Tante Mary - dua anggota sepuh dengan usia kepala enam dan menjelang kepala enam - hanya mangut-mangut. Tina dan Icha juga tak berkomentar banyak, kecuali mengiyakan; aku sebagai salah satu konseptor rencana tersebut tak lagi menambahi atau mengurangi. Everything seems just perfect. Detail perjalanan, tempat demi tempat yang akan dikunjungi, moda transportasi, hotel yang sudah dipesan dan cara mencapainya, jam bangun tidur, jam berangkat, peta lokasi tujuan wisata, estimasi tarif dan biaya masuk lokasi atraksi, hal-hal yang harus diperhatikan,...semua sudah ditabulasi Riyana yang kalau tidak sedang jalan-jalan berprofesi sebagai dosen. Meski tak ditulis dalam tabel, kami pun sudah mendapat visa untuk masuk China dari kedutaan dan konsulat China dan exit permit dari para suami. Tiba di Hong Kong sesuai dengan jadwal. Beda dengan KL, masuk ke Terminal 2 menggunakan belalai garbarata. Perasaan riang membuncah begitu menyusuri koridor terminal menuju Imigrasi dan tempat pengambilan bagasi. Urusan visa on arrival di Imigrasi berjalan lancar. Tulisan beraksara China dan Inggris menandakan kami berada di negeri asing. Akhirnya tiba juga di kota impian! Hong Kong, here we come. Tina meng-update status BB nya. Duh! Dia tak ingin menyia-nyiakan kemurahan hati operator ponsel yang memberi paket gratis 3 hari layanan roaming blackberry internasional. Tak lama menunggu, dari conveyor belt satu per satu muncul bagasi kami, kecuali milikku karena aku memang tak membawa bagasi. Satu backpack berisi pakaian secukupnya dan satu ransel kecil berisi kamera DLSR dan lensa tele aku tenteng ke kabin. Sebenarnya, kami sudah menginstruksikan agar masing-masing cukup membawa koper kecil atau sedang agar mudah bergerak. Sayangnya, Tina membawa koper ukuran jumbo, demikian juga Tante Mary dan Icha yang menggabungkan bawaan mereka dalam satu koper besar. Lha, gimana mau backpack kalau yang dibawa koper jinjing :-) ? Soal ukuran koper yang tidak sesuai rencana ini menjadi ganjalan pertama terhadap rencana yang sudah kami susun dengan cara seksama dalam tempo yang tak singkat. Rencana sebelumnya, dari bandara Hong Kong (HKIA), kami akan naik Airport Express Rail yang menuju Central dan akan turun di Stasiun Kowloon; dari sana akan jalan sedikit ke terminal bis dan ambil bis No 74 yang menuju Mong Kok Pioneer Center, turun di Wing Sing Lane dan berjalan sedikit ke Shanghai Street dimana terletak Silka View Hotel tempat kami akan menginap. Namun, menyadari koper-koper ukuran gajah akan menyulitkan naik turun bus, para pemilik koper gede mengajukan hak interpelasi, mempertanyakan alasan kebijakan untuk mengikuti arahan Google Map tersebut. Akhirnya, demi kekompakan dibuat amandemen : naik MTR saja. Setelah beli kartu Octopus yang masing-masing nilainya HKD 150 (yang dapat dipergunakan HKD 100, yang HKD 50 sebagai deposit), kami menaiki kereta bandara (Airport Express Rail) yang mewah; dalam beberapa menit kami tiba di perhentian pertama yaitu Stasiun Tsing Yi dan kami berganti ke MTR jalur oranye yang sama-sama menuju Central; bedanya : kereta ini akan singgah di Stasiun Lai King, sedangkan kereta bandara akan bablas langsung ke Stasiun Kowloon. Masih dalam hitungan menit, kami tiba di Stasiun Lai King yang hanya satu perhentian dari Stasiun Tsing Yi; di sini kami pindah kereta lagi ke jalur merah yang juga menuju Central, tapi dengan lintasan yang berbeda dengan kedua kereta yang kami tumpangi sebelumnya. Stasiun Yau Ma Tei yang menjadi tujuan kami dicapai setelah melewati enam perhentian. Entah kami yang tak bisa menemukan lift atau memang tidak ada, keluar dari stasius kami harus naik tangga. Perjuangan berat harus dilalui oleh Tina dan Riyana yang harus mengangkat koper jumbo masing-masing. Keluar dari stasiun kami berjalan beriring bagaikan pramugari (atau parade hari Kartini ? hehehe...) menyusuri Nathan Road melewati deretan pertokoan sambil menggerek-gerek koper. Untung trotoarnya bagus dan sangat manusiawi, tak ada lubang-lubang seperti di negeri atau kendaraan yang mengambil hak pejalan kaki. Hari sudah malam, Hong Kong bermandi cahaya. Tidak sulit menemukan Hotel Silka Seaview. Sekitar 10 hingga 15 menit berjalan, kami tiba di hotel. Aku dan Riyana melapor ke resepsionis dengan menunjukkan bukti pemesanan on-line atas nama kami berdua serta paspor empat orang tamu, karena pesanan hotel hanya 2 kamar untuk masing-masing dua orang, tanpa pemesanan extra bed. 'Kan mau hemat :-) ? Tak ingin dikenakan extra charge jika mengisi kamar lebih dari ketentuan, kami mengatur agar Tina dan Tante Acim berdiri menunggu di depan lift, tidak ikut bergerombol di depan resepsionis; kami berpura-pura tidak saling kenal. Ketika kunci sudah diberikan, aku berteriak kepada Riyana dalam bahasa Indonesia menyebutkan nomor kamarku; teriakanku cukup keras sebagai petunjuk bagi Tina untuk menyusul kami ke kamar tersebut. Kami mendapat kamar di lantai 12. Begitu membuka pintu kamar, segera terasa kamarnya sempit. Ini memang sudah diantisipasi, karena berbagai buku penuntun juga sudah mengingatkan kamar hotel-hotel di Hong Kong memang kecil (kecuali hotel yang mewah tentunya) dan juga informasi di situs hotel sudah menyebutkan luasnya cuma 12 meter persegi. Ada dua tempat tidur single. Kamar mandi dengan shower dan toilet juga sangat sempit. Meski sempit, tapi semua perlengkapan kamar sangat bersih dan apik dan terasa seperti barang baru. TV flat screean dan AC-nya juga berfungsi sempurna. Tina dan Tante Acim bergabung denganku di satu kamar. Riyana dan keluarganya di kamar yang lain. Meletakkan barang bawaan, tanpa mandi atau berganti pakaian kami segera turun dari kamar, keluar hotel dan berjalan beberapa puluh meter menuju Temple Street Night Market yang bertetangga dengan Shanghai Street. Ternyata mirip pasar malam emperan : yang dijual mulai dari obeng, kaos kaki, baju, buah, lukisan... Menurutku tidak menarik. Mungkin kami yang kurang mengeksplorasi pasar itu, sehingga belum menemukan hal-hal yang membuatnya menjadi salah satu tempat kunjungan wisatawan yang disebut-sebut dalam banyak situs. Kami mencari tempat makan. Bingung juga hendak memilih karena petunjuk kedai-kedai yang bertebaran di sepanjang jalan menggunakan aksara karakter China. Tak seorangpun dari kami bisa membaca dan tahu artinya. Akhirnya, kami mampir ke salah satu yang terdekat. Ada banyak pengunjung; kami dibawa masuk dan ditunjukkan ruang atas. Seorang pelayan perempuan mendatangi kami dan bertanya dalam bahasa Chinai. Riyana mencoba menjelaskan dalam bahasa Inggris bahwa tak seorang pun kami bisa berbahasa China. Tetapi, tampaknya sang pelayan tak paham bahasa Inggris; ia terus menyerocos dalam bahasanya. Kami saling berpandangan dengan rasa putus asa. Perut sudah lapar, makanan sudah tersedia di depan mata, tapi bagaimana cara mendapatkannya ? Dalam keadaan genting dan mendesak, ilmu bahasa universal a.k.a bahasa Tarzan dikeluarkan. Kami menunjuk gambar-gambar makanan yang ada di dinding restoran. Lumayan, komunikasi tampaknya mulai terjalin. Sang pelayan mencatat permintaan kami berdasarkan arah jari telunjuk kami. Ada gambar ikan (entah ikan apa) tampaknya seperti ditauco, sayur pok cai, nasi dan mie. Tetapi, ketika hidangan digelar di atas meja, ternyata tak semuanya sesuai dengan gambar. Tante Mary rada kesal. Namun, bagaimana menjelaskan tentang ketidakcocokan antara order dengan delivery ini ? Hambatan bahasa membuat kami tak bisa mengajukan komplain; dan dengan berat hati meyantap apa yang tersedia, meskipun tak sesuai pesanan. Habis juga. Kami melepas HKD 210 untuk makanan yang relatif sederhana - ditemani air putih - untuk berenam. Setelah makan kami melanjutkan berjalan-jalan di sekitar pasar malam. Komplikasi perut kenyang dengan mata memberat akibat bangun teramat pagi akhirnya memaksa kami untuk kembali ke hotel. Aku tidur sekasur dengan Tina; Tante Acim di kasur yang satunya lagi. Kami bisa tidur nyenyak meski sedikit berdesak-desak. Itulah hari pertama. - HARI KEDUA - 13 Juni 2013 Bangun pagi. Semangat untuk menaklukkan Hong Kong bergelora. Pukul delapan lebih sedikit kami sudah selesai mandi dan menyiapkan perlengkapan. Ups, belum sarapan. Karena pesanan hotel tak termasuk breakfast, maka harus cari makanan di luar. Tak masalah. Hanya beberapa meter keluar dari hotel sudah ada pedagang makanan di emperan. Kami memesan bubur ayam dan mie. Lagi-lagi masalah bahasa terjadi. Tante Mary mau bihun putih, tapi diberikan mie kuning. Untungnya kali ini, dengan bahasa isyarat masalah teratasi; mie kuning yang sudah dihidang diganti dengan mie putih free of charge. Jalan kaki ke Stasiun Yau Mai Tei, naik kereta jalur merah ke Stasiun Lai Kung, berganti kereta ke Tung Chung. Target : wisata di sekitar Pulau Lantau. Berjalan sedikit dari stasiun, kami tiba di stasiun cable car Ngong Ping. Kami menaiki crystal cable car yang dasarnya tembus pandang. Biayanya HKD 215 per orang (pergi pulang). Isinya 8 orang; ada 2 orang lain yang bersama kami. Dari ketinggian kami bisa melihat pemandangan Hong Kong : gedung-gedung menjulang tinggi terlihat di kejauhan; melintasi laut, kami bisa melihat kapal-kapal; dan melewati bukit-bukit tampak air terjun dan pepohonan hijau. Perjalanan sekitar seperempat jam (atau berapa lama ya ? ...tak kepikiran mencatat waktu). Mendekati Ngong Ping Village yang dituju, kami bisa menangkap bayangan Giant Buddha, patung Buddha duduk berukuran raksasa. Turun dari cable car, kami disambut oleh deretan restoran dan toko suvenir. Rencananya kami akan menaiki tangga yang lumayan tinggi untuk mencapai Giant Buddha. Mengetahui harus menaiki lebih dari 250 anak tangga, para sepuh keder; Tina, Riyana dan Icha juga tak bersemangat. Sebenarnya bisa diduga mengapa mereka merasa berat untuk melakukan pendakian; pastilah berhubungan dengan excess bagage yang mulai menggelambir di beberapa bagian tubuh para emak :-) . Hehehe. Hanya aku yang siap dan bersemangat naik, berharap bisa mengambil foto-foto spektakular dari puncak sana; namun, karena kalah suara, aku mengalah untuk mengakhiri ekspedisi Ngong Ping. Kami meluncur dengan cable car ke stasiun di bawah dan melanjutkan berjalan kaki ke Stasiun Tung Chung. Lalu, naik MTR ke Sunny Bay yang hanya berjarak satu stasiun. Aroma Disney langsung terasa di stasiun ini. Kereta yang membawa kami dari Sunny Bay ke Stasiun Disneyland Resort berhiaskan pernik-pernik Mickey Mouse. Jendela kereta dibentuk seperti siluet kepala si tikus. Begitu pula gelang untuk pegangan tangan di dalam kereta diberi aksesori seperti telinga sang Mickey. Keluar dari stasiun MTR, tak jauh sudah terlihat gapura Hong Kong Disneyland Resort. Gairah berfoto di gapura dan air mancur Mickey yang masuk membuat aku dan Tina terpisah dari keempat anggota rombongan lain yang hendak ke kamar kecil. Rencana semula, aku dan Tante Acim hanya ikut mengantar anggota rombongan lain hingga pintu Disneyland untuk sekedar tahu dan berfoto. Kami berniat untuk berkeliling kota di Pulau Hong Kong; sedangkan yang lainnya akan menjelajahi area hiburan itu. Sayangnya, aku dan Tina tak bisa berkomunikasi dengan keempat anggota yang terpisah, karena mereka tidak mengaktifkan roaming handphone ( 'kan penghematan :-) ), hanya aku dan Tina yang mengaktifkan telepon genggam memanfaatkan fasilitas gratis layanan blackberry. Dalam kebingungan bagaimana menyelesaikan masalah ini, Tina mengatakan bahwa merasa agak pusing (ternyata dia lagi dikunjungi Mr. Moon) dan membatalkan untuk masuk taman hiburan. Akhirnya, kami memutuskan untuk berpisah dengan anggota rombongan lain tanpa pamit, karena tak ada cara untuk pamitan. Menumpang kereta MTR Mickey, kami berdua kembali ke Stasiun Sunny Bay dan pindah kereta jalur oranye menuju Stasiun Hong Kong di Hong Kong Island. Stasiun Hong Kong terhubung dengan Stasiun Central yang luas luar biasa. Keluar dari stasiun MTR kami menyusuri toko dan perkantoran. Melihat ada tram, kami cari haltenya dan segera naik. Kartu Octopus memang sakti, diterima dimana-mana. Tak tahu kemana tujuannya, yang penting dibawa jalan. Namanya juga jalan-jalan. Begitu tiba di suatu area pertokoan yang tampak ramai, kami turun dan menjelajahi toko-toko kelas atas yang ada di sana. Tak tahu apa nama daerahnya, tapi pasti masih di sekitar Hong Kong Island :-( .Hari sudah mulai gelap kami cari halte dan menaiki tram kembali ke arah Stasiun Central. Di sana kami menanyakan arah ke terminal ferry. Lumayan jauh berjalan kaki, tetapi akhirnya ketemu juga. Kami menaiki Star Ferry - hanya membawa penumpang - yang menyeberang bolak-balik dari Hong Kong Island ke Kowloon. Kami membayar lagi-lagi menggunakan kartu Octopus. Perjalanan hanya sekitar lima menit, tapi pemandangannya lumayan asyik; bisa melihat gedung-gedung di kedua sisi. Tiba di seberang, kami menyusuri Tsim Tsa Shui Promenade di tepi laut. Di seberang tampak Pulau Hong Kong dengan gedung-gedung bertingkat yang bertabur lampu. Tepat pukul 20.00 atraksi yang dinanti muncul. Di sebuah gedung muncul tulisan "Welcome to Hong Kong". Kemudian, dari beberapa gedung memancar sinar laser warna warni. Sementara itu dari arah belakang kami terdengar suara musik yang mengiringi permainan cahaya itu. "Symphony of Light", begitu nama atraksi ini menurut brosur.Melihat ada halte bis dekat tempat kami menyaksikan pertunjukan cahaya, kami memeriksa rute bis-bis yang mampir di sana. Ternyata ada yang akan ke arah hotel. Dengan kartu Octopus kami menumpang bis dan tiba di hotel berharap teman-teman yang lain sudah ada di hotel, kami merencanakan akan pergi bersama ke Ladies Market. Ternyata mereka belum ada. Kami kembali ke halte bis dekat hotel dan menaiki bus menuju Mong Kok. Kami turun di Ladies Market yang berisi toko-toko yang menjual berbagai barang-barang untuk wanita. Ini jauh lebih menarik dari Temple Night Market. Lebih sesuai selera wanita. Tina membeli sebuah sling bag. Untuk pulang, kami ambil bis lagi. Tapi...heran, mengapa jalannya makin sepi? Oh, sial...salah arah. Alih-alih menuju Selatan, bis yang kami naiki menuju Utara. Untung ada pemuda baik hati di dalam bis yang bisa berbahasa Inggris. Dia menjelaskan kekeliruan itu dan juga menyarankan kami turun di perhentian bis berikutnya, kemudian berjalan ke stasiun MRT di dekatnya. Syukurlah, mengikuti saran sang pemuda, kami tiba di Stasiun Prince Edward, lalu mengambil MTR ke Yau Ma Tei. Keluar dari stasiun kami disambut hujan. Untung sedia payung, satu untuk berdua. Tubuh sedikit basah ketika kami tiba di hotel. Riyana dan rombongan ternyata sudah ada di kamar; mereka juga ke Mong Kok setelah dari Disneyland. Saling bertukar cerita tentang pengalaman masing-masing setelah insiden terpisah dan kehilangan kontak di Disneyland, rasa lelah akhirnya menguasai dan kami pun tidur. Itulah hari kedua. - HARI KETIGA - 14 Juni 2013 Petualangan seharian kemarin mulai meminta tumbal. Tante Acim mengeluhkan betisnya sudah membengkak sebesar bola kasti setelah seharian di Disneyland dan Mong Kok. Jadual mulai bergerak dari hotel pukul 08.00 batal. Baru keluar setelah pukul 09.00. Kami melapor check-out, membereskan pembayaran dan menitipkan koper-koper di front desk. Dari Stasiun Yau Ma Tei kami naik MTR ke Stasiun Central. Keluar dari stasiun, Riyana mengajak keliling dengan bis. Hitung-hitung city sight seeing. Untuk keamanan pembayaran transportasi, aku dan Tina melakukan top up kartu Octopus HKD 50, karena kemarin kami sudah menggunakannya cukup banyak. Naik bis di dekat Stasiun Admiralty, menyusuri jalan-jalan di sekitar Hong Kong Island, dan kemudian diturunkan lagi di stasiun yang sama. Dari sana kami mengambil Bis No. 15 yang membawa kami ke Victoria Peak. Musibah terjadi. Hujan turun. Deras pula. Apalah artinya pemandangan dari puncak gunung ketika kabut dan air menyelimuti cakrawala dan kaki gunung ? Tiba di Victoria Peak, kelima anggota rombongan - sesuai rencana - mengunjungi Museum Lilin Madame Tussauds. Aku memang tidak berniat masuk, karena sudah pernah ke Museum Lilin Madame Tussauds di Bangkok; sayang, harus mengeluarkan HKD 180 untuk melihat hal yang hampir sama. Memotret, itu rencanaku, tapi batal karena alam tak bersahabat. Ketika yang lain sedang berfoto ria dengan patung lilin para selebriti di dalam museum, aku menikmati coklat panas di sebuah kafe ditemani kamera kesayanganku yang turut merasakan duka, tak bisa merekam kesempatan yang telah lama dirancang ini.Masih hujan ketika akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Kami menumpang Peak Tram ke stasiun bus dan dari sana naik bus ke Stasiun Central. Dilanjutkan dengan MTR dari Stasiun Cental ke Yau Ma Tei untuk mengambil koper-koper yang dititipkan di hotel. Ritual menggerek-gerek koper dari hotel hingga stasiun kereta terulang kembali. Kali ini, beban terasa lebih berat; selain karena koper sudah bertambah isinya, juga karena kondisi kaki pun sudah mulai lunglai. Lagi-lagi kami harus top-up kartu Octopus sebesar HKD 50. Dari Yau Ma Tei kami mengambil MTR ke Kowloon Tong (jalur hijau). Ternyata MTR bertarif normal yang menuju Lo Wu (perbatasan antara Hongkong dengan Shenzhen) penuh padat. Mungkin karena memang jam padat, mungkin karena akhir pekan, mungkin karena sudah masuk musim liburan. Entahlah. Mengingat para sepuh tidak akan kuat berdiri jika naik kereta itu, maka diputuskan untuk naik kereta first class. Tarifnya tentu lebih mahal, tapi akan dapat tempat duduk. Menaiki MTR first class setelah bersusah payah mencari tiket pesawat promo menjadi suatu ironi. Mau hemat atau mau enak ? Hehehe...mau dua-duanya, dong; sayangnya, harus memilih salah satu. Demi spirit de corps alias jiwa korsa, kami memilih untuk mengakomodasi kebutuhan para sepuh. Jadilah kami, bagaikan jetsetter, menumpang kereta first class (eh, keliru ya...jetsetter mana mau naik MTR, mereka naik pesawat jet pribadi :-) ). Well, konsekuensinya harus melakukan penyesuaian anggaran, mirip dengan DPR yang buat APBN-P untuk mengakomodasi perubahan pada asumsi-asumsi pada penetapan APBN sebelumnya :-). Untuk kami, itu berarti anggaran untuk belanja-belanja harus disinkronkan ulang dengan persediaan valuta asing yang tersisa. Sekitar setengah atau tiga perempat jam di perjalanan, kereta kami tiba di terminal akhir jalur MTR tersebut, yaitu Stasiun Lo Wu. Sebelum meninggalkan stasiun kami meng-klaim sisa deposit kartu debit di loket Octopus. Pelaporan di imigrasi berjalan lancar. Meskipun Hong Kong dan Shenzhen sama-sama China, tapi masing-masing punya aturan imigrasinya sendiri. Visa Hong Kong beda dengan visa China dan masuk Shenzhen harus punya visa China. Kami tak perlu mengurus visa on arrival, karena semua paspor sudah bersticker visa China yang kami urus di Indonesia sebelum keberangkatan. Tak ada antrian panjang. Mungkin karena sudah malam, sudah lebih pukul 22.00. Good bye Hong Kong. Selain gagal ke Giant Buddha dan memotret di Victoria Peak, ada dua tempat lagi yang luput kami kunjungi menurut itenary, yaitu Avenue of Star dan Victoria Park. Tapi, apa daya ? Jalan-jalan bersama sesama emak-emak tak boleh terlalu strict dengan jadwal dan rencana. Untuk menghibur diri, aku hanya berharap :-( ada kesempatan ke Hong Kong lain waktu dan berkunjung ke tempat yang terlewati. For now... hello, Shenzhen. -------------------------------- (Next Episode : Shenzhen)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!