Dulu kunjungan ke Semarang adalah rutinitas sekitar dua kali setahun. Maklum, keluarga besar istri ada di sana. Bus malam Kramatdjati Bandung-Semarang jadi langganan. Seringnya berangkat dari Yoghurt Columbia di Dago atau dari Jalan Ambon. Pernah juga coba dengan kereta api Harina, tapi akhirnya memilih bis, karena lebih praktis dan nyaman (plus ada bonus 1 tiket setiap beli 10 tiket). Kala itu setiap tiba dengan kereta hampir selalu disambut oleh genangan air di halaman Stasiun Tawang.
Terakhir ke Semarang tahun 2008 dan 2009, itu juga cuma sekedar mampir dalam perjalanan kerja ke Salatiga dan ke Solo.
Tak banyak yang saya tahu tentang Semarang, meski sudah beberapa kali ke sana. Memang kunjungan ke Semarang biasanya sangat pendek, satu hingga tiga hari; kalau ada libur panjang, malah di Semarang cuma dua tiga hari, sisanya menjelajah Magelang, Solo dan Jogja. Bukannya tidak ada yang menarik di Semarang. Saya tahu di sana ada Sam Poo Kong, Lawang Sewu dan Kota Lama, tapi tak pernah sempat. Waktu di kota ini biasanya habis untuk acara keluarga.
Yang paling saya ingat tentang Semarang adalah Simpang Lima. Pertama kali ke ibukota Provinsi Jawa Tengah ini, saya diajak makan malam di warung lesehan yang banyak digelar di sekitar bundaran  yang menjadi pertemuan lima ruas jalan besar. Ada banyak sekali pilihan; saya ingat saya pilih burung dara goreng. Enak.
Yang juga saya ingat tentang Semarang adalah Jalan Pandanaran. Tempat belanja makanan khas Semarang. Saya suka membeli lunpia, bandeng dan wingko sebagai oleh-oleh dan untuk dikonsumsi sendiri. Oh ya, satu lagi yang saya ingat tentang Semarang dulu adalah Soto Bangkong - tiada kunjungan tanpa makan Soto Bangkong di awal-awal saya bertandang ke Semarang.
Berada di Semarang beberapa hari di akhir tahun 2016 membuat saya berkesempatan untuk mengunjungi tempat yang selama ini terlewatkan. Saya pikir begitu. Nyatanya, beberapa urusan di luar rencana akhirnya membuat saya gagal lagi menjelajahi Semarang. Bayangkan saja. Sudah berada di depan gerbang Kelenteng Sam Poo Kong, mendadak datang telepon yang mengabarkan ada kerabat dekat yang meninggal dunia di luar kota. Beberapa anggota keluarga dalam rombongan wisata itu memutuskan segera kembali ke kotanya untuk menghadiri pemakaman, maka terpaksa acara jalan-jalan dibatalkan. Meskipun tidak ikut meninggalkan Semarang, saya dan anggota keluarga yang masih tinggal kehilangan gairah untuk berwisata hari itu di tengah kedukaan.
Semarang adalah Sam Poo Kong, tapi saya belum pernah masuk ke dalam.
Beruntung pada hari berikutnya saya sempat mengunjungi salah satu landmark Semarang : Lawang Sewu. Mengunjungi gedung bersejarah yang pernah menjadi kantor PT KAI di dekat Tugu Muda ini perlu sedikit kesabaran. Susah cari parkir, dan setelah dapat tempat, harus bersedia membayar uang parkir tak resmi sebesar Rp.10.000. Untuk masuk gedung yang telah direnovasi dengan sangat baik itu dikenai tarif Rp. 10.000 untuk dewasa dan Rp. 5.000 untuk anak berusia 12 tahun atau kurang. Meskipun gedung yang selesai dibangun 109 tahun yang lalu ini merupakan objek wisata sejarah, tak banyak yang tertarik mencari tahu cerita di balik bangunan yang memiliki sangat banyak jendela tinggi dan lebar, hampir sebesar pintu, sebagai ciri khasnya. Para pengunjung yang membeludak lebih menikmati berfoto-foto dengan latar belakang bangunan berarsitektur masa  kolonial itu dan membuat komposisi artistik memanfaatkan keunikan efek geometris yang dibentuk oleh deretan jendela terbuka yang berjajar rapi.
Semarang adalah Lawang Sewu. Saya sudah pernah ke sana.
Apalah artinya ke Semarang tanpa ke Simpang Lima yang merupakan alun-alun kota ? Malam kemarin kami menghabiskan beberapa saat untuk mengadakan 'photo session' di ikon kota Semarang ini. Berlatar belakang neon sign beberapa hotel dan tempat perbelanjaan di sekeliling Simpang Lima, ditambah pula tulisan besar 'Simpang Lima' yang terang mencolok, berfoto di salah satu sudut Simpang Lima menjadi catatan sejarah yang otentik telah pernah menginjakkan kaki di kota Semarang. Â Banyak orang yang datang ke Simpang Lima untuk berselfie dan ber-wefie sehingga sulit sekali membuat foto di posisi yang strategis tanpa kehadiran orang lain di kiri kanan. Puluhan beca dan sepeda tandem berlampu LED yang bisa disewa untuk mengelilingi taman Simpang Lima membuat suasana terasa ramai dan terlihat meriah.
Simpang Lima bukan sekedar ruang terbuka tempat orang-orang bisa beraktivitas dan berkumpul. Simpang Lima adalah juga tempat wisata kuliner. Puluhan warung tenda menjajakan berbagai jenis makanan dan minuman, mulai khas yang Semarang, Jawa Tengah hingga yang berasal dari berbagai kota Indonesia.Â