Jika sebuah kendaraan bisa dipacu dengan "nyaman dan aman" pada kecepatan maksimumnya 180 km/jam sehingga bisa tiba di tujuan yang berjarak 180 km dalam waktu 1 jam, tidak ada alasan untuk mengendarainya berleha-leha pada kecepatan 90 km/jam.
Tapi, cobalah ganti frasa "nyaman dan aman" dengan "risiko kecelakaan 99,99%". Apakah setiap orang masih akan menekan habis pedal gas untuk melaju di kecepatan maksimum? Manakah yang akan dipilih orang : tiba di tujuan dalam waktu 2 jam dengan peluang celaka 0,009 % atau tiba dalam waktu 1 jam dengan peluang celaka 99,99 % ?
Di atas kertas segala hal yang ideal bisa dikalkulasi dengan cermat dan secara teoretis hasil optimal dapat dicapai. Teori mengasumsikan banyak hal: ceteris paribus, pola yang sama akan berulang, manusia bersifat rasional, demokrasi menghasilkan pemimpin terbaik bagi rakyat, dan lain-lain. Capaian teoretis tergantung pada asumsi-asumsi yang digunakan. Â Apa yang di dalam teori bisa dicapai, seringkali tak bisa diwujudkan di alam nyata, karena asumsi-asuminya jauh dari kenyataan. Â
Banyak orang bermimpi bahwa hal-hal ideal akan terwujud jika saja orang-orang lain mau mengikuti caranya dan sarannya. Mereka menjadi kecewa manakala hal-hal ideal (dan teoretis) di benak mereka tidak dijalankan. Mereka tidak sabar dan tidak suka dengan perubahan yang terjadi dengan lambat. Mereka menentang negosiasi dan kompromi yang dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang tidak ideal. Orang-orang yang sebelumnya menjadi agen perubahan alias dream maker berubah menjadi pasif, apatis dan pengkhayal  alias  dreamer belaka.
Kekecewaan sebagian pendukung Jokowi karena idola mereka telah memilih KH Ma'ruf Amin sebagai wakil presiden dapat dipahami dalam konteks ini. KH Ma'ruf Amin bukanlah figur ideal sebagai pendamping Jokowi untuk membawa negeri ini menghadapi zaman yang semakin pelik. Usia yang sudah lanjut dan latar belakang pengalamannya tidak merepresentasikan kepemimpinan yang dibutuhkan mendampingi Jokowi menangani persoalan ekonomi dan hukum yang menjadi tantangan besar negeri ini. Â
Kekecewaan berat juga melanda para pengagum Mahfud MD yang sempat dianggap akan menjadi pilihan Jokowi sebagai wakil presiden untuk periode 2019-2024. Spektrum kekecewaan itu menyebar mulai dari rasa kaget tapi bisa menerima sepenuhnya hingga rasa marah, mengutuki Jokowi dan memilih untuk Golput atau pindah pilihan di Pilpres 2019.
Pada ujung kekecewaan ekstrem, Jokowi dituding cuma petugas partai, tunduk terhadap kepentingan orang-orang sekitarnya, kalah terhadap kekuatan para penekan yang sebelumnya sudah mengandangkan Ahok di bui. Mereka berpikir bahwa Jokowi terlalu lemah, penakut, cuma mau cari aman dan mempertahankan jabatan belaka.
Cinta yang menggebu di awal memang bisa berujung pada benci yang mendalam, kalau kekaguman hanya didasarkan pada emosi impulsif semata. Hubungan Jokowi dengan sebagian pendukungnya juga tampaknya berujung pilu. Para pendukung yang menganggap Jokowi sebagai superhero tak bisa menerima bahwa Jokowi tidak mengeluarkan jurus "koppig" (keras kepala) bahkan kalau perlu konfrontatif dengan lingkaran politiknya.
Harapan yang tidak realistis tentang kekuatan Jokowi menjadi penyebab kekecewaan yang mendalam pada para pendukung yang kurang bijak. Padahal, jika mau menelisik ke belakang, dengan mudah akan diketahui bahwa pada awalnya Jokowi bukanlah siapa-siapa - bahkan sempat tak dianggap oleh pemimpin dan orang-orang di partainya sendiri.
Jokowi menjadi presiden di tengah-tengah orang yang bukan merupakan pendukungnya sepenuhnya. Bahkan, Jusuf Kalla yang jadi wakil presidennya pun adalah orang yang sebelumnya meragukan dan menghinakan kemampuannya - dan bermain api pula di Pilkada DKI 2017. Â Panglima TNI sebelumnya ternyata juga punya agenda untuk menjadi saingan Jokowi selepas pensiun dari jabatannya. Belum lagi partai politik yang memang sejatinya pemburu kekuasaan - mereka tak membiarkan Jokowi menjalankan agenda pemerintahannya dengan tenang. Â Parpol yang menjadi tempat Jokowi bernaung pun sempat ikut merecoki kerja Jokowi.
Siapa yang diharapkan Jokowi untuk mendukungnya ? Jokowi selalu mencoba membangun hubungan  dengan semua orang dan semua kalangan, termasuk orang-orang yang nyata-nyata menjadi lawannya.Â