Masa pengampunan pajak (lebih populer dengan istilah Tax Amnesty / TA) akan berakhir besok 31 Maret 2017. Undang-undang Nomor 11 tahun 2016 memberikan penghapusan pajak yang seharusnya terutang serta tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkapkan seluruh harta yang dimiliki dan membayar uang tebusan atas harta tambahan yang belum/tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh tahun 2015.
Hingga tanggal 28 Maret 2017 wajib pajak yang telah mengikuti program TA dengan melaporkan harta melalui Surat Pernyataan Harta tercatat sekitar 310.000 WP. Â Jumlah ini lebih kecil dari harapan Menteri Keuangan Sri Mulyani, mengingat ada sekitar 20 juta WP wajib SPT (memiliki pendapatan lebih besar dari PTKP) dari total pemilik nomor pokok wajib (NPWP) sebanyak 32,77 juta.
Motto Tax Amnesty adalah ungkap, tebus, lega. Motto ini ditebar dalam berbagai media pemberitahuan, pemberitaan dan promosi TA. Dengan telah mengungkapkan harta dan membayar uang tebusan, benarkah para peserta TA sudah dapat lega ?
Ternyata tidak. Ada ancaman yang menanti peserta Tax Amnesty.
Pasal 18 Undang-undang Nomor 11 tahun 2016 menyebutkan bahwa WP yang tidak mengungkapkan seluruh hartanya dalam SPH akan dikenai pajak sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar. Itu artinya, WP apes dua kali. Sudah membayar tebusan, masih pula dikenakan denda.
Mungkin sebagian WP memang berlaku curang dengan tidak mengungkapkan seluruh hartanya, tetapi sebagian mungkin lalai menuliskan harta yang dianggapnya tidak terlalu material, seperti perabot rumah tangga dan peralatan elektronik lama. Akankah ini dianggap juga sebagai harta yang tidak diungkapkan ? Â Â
Ancaman yang mengintai peserta TA tidak sampai di situ saja.
Peraturan Menteri Keuangan No 116/PMK.03./2016 yang kemudian diubah melalui Peraturan Menteri Keuangan PMK No 141/PMK.03/2016 menyatakan bahwa Wajib Pajak yang telah menggunakan tarif uang tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) PMK tersebut harus menyampaikan laporan pengalihan harta dan/atau penempatan harta kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP tempat WP Terdaftar.
Laporan Pengalihan dan/atau Penempatan Harta disampaikan secara berkala setiap tahun sejak terbitnya surat keterangan mengikuti TA. Hal ini harus dilakukan selama tiga tahun paling lambat pada saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT PPh). Jika tidak melapor, maka WP mungkin akan menerima surat peringatan dari Direktur Jenderal Pajak dan memberi waktu 14 hari untuk menyelesaikannya. Jika hingga tenggat waktu tesebut tidak juga menyampaikan Laporan Penempatan Harta, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
- harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan (tentang harta yang didaftarkan dalam SPH) diperlakukan sebagai penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan dikenai pajak penghasilan dengan tarif dan sanksi sesuai dengan ketentuan UU PPh dan UU Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan
- uang tebusan yang telah dibayar oleh WP diperhitungkan sebagai pengurang pajak
Kelalaian menyampaikan Laporan Penempatan Harta ini berdampak besar, karena peserta TA harus membayar PPh sebesar nilai normal yang jelas jauh lebih besar dari tarif uang tebusan atas semua harta tambahan yang telah dilaporkannya. Berbeda dengan sanksi atas ketidaksertaan dalam program TA dan ketidakbenaran dalam pengisian SPH yang dipajang secara jelas dalam halaman depan situs tax amnesty Direktortat Jenderal Pajak, sanksi mengenai kelalaian melaporkan ini tidak tampak di situs  http://www.pajak.go.id/content/amnesti-pajak , padahal konsekuensinya hampir sama.Â
Menilik pada Pasal 38 ayat 3 pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut, maka batas waktu penyampaian Laporan Pengalihan Harta dan/atau Penempatan Harta bagi peserta Tax Amnesty adalah bersamaan dengan berakhirnya pelaporan SPT 2016, yaitu tanggal 31 Maret 2017 untuk WP Orang Pribadi (WP). Namun, tanpa menyebutkan adanya PMK yang mengubah 141/PMK.03/2016 tersebut, Pejabat Direktorat Jenderal Pajak melalui situs pajak.go.id mengatakan bahwa laporan pertama disampaikan pada tanggal 31 Maret 2018 untuk WP OP.