Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kuala Namu International Airport (KNIA) vs Kuala Lumpur International Airport (KLIA2)

25 Agustus 2014   02:12 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:40 4130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terbang dari Kuala Namu International Airport (KNIA) menuju Kuala Lumpur International Airport (KLIA2) menggoda hati saya untuk membuat perbandingan antara keduanya. Bandara yang disebut pertama konon adalah bandara paling modern dan canggih di Indonesia, sedangkan bandara negara jiran tersebut adalah bandara pertama di Asia dan ketiga di dunia yang memiliki skybridge (panjang 300 meter) di atas taxiway yang menghubungkan gedung terminal penumpang dengan bangunan satelitnya. Baik KNIA maupun KLIA2 baru beroperasi secara resmi kurang dari satu tahun.

Kesan pertama ketika melihat Bandara KNIA yang berada 39 kilometer dari Kota Medan dan merupakan bandara terbesar kedua di Indonesia setelah SHIA (Bandara Sukarno-Hatta di Jakarta) ini adalah megah,lapang dan modern. Bangunan yang sekelilingnya berdinding kaca membuat orang-orang di dalam bisa memandang bebas ke berbagai penjuru di luar gedung terminal, termasuk ke sisi landasan pesawat.  Terminal kedatangan di lantai 2 dapat diakses langsung dengan kendaraan melalui jalan layang, sedangkan terminal keberangkatan ada di lantai 1 dan tepat di depannya terdapat stasiun kereta api cepat dari dan menuju Medan.  Konter pelaporan sebanyak 18 baris tersusun paralel menyambut para penumpang begitu memasuki area terminal keberangkatan. Area di belakang barisan konter dipadati oleh berbagai toko ritel, restoran dan kafe.  Beberapa restoran yang ada di bagian belakang menghadap langsung ke arah landasan dan juga dapat melihat ke ruang tunggu berdinding bahan tranparan yang ada di lantai yang lebih rendah.  Dinding kaca dan atap yang juga sebagian transparan membuat bandara ini cukup terang dengan mengandalkan cahaya alam.

Bisa dicapai dengan taksi (dengan tarif sekitar Rp. 150 ribu dari Medan), kereta (dengan tarif Rp. 80 ribu dari Stasiun Medan) atau dengan bus (dengan tarif Rp. 10 ribu (dari terminal Amplas) atau lebih  (tergantung lokasi asal, yaitu beberapa terminal bis di Kota Medan hingga di Binjai, Pematang Siantar atau Kaban Jahe).  KNIA mulai beroperasi tanggal 25 Juli 2013 (soft opening), tetapi baru diresmikan pada 27 Maret 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bandara berbiaya Rp. 5,8 triliun ini (Rp. 3,3 triliun berasal dari APBN dan Rp, 2,5 triliun dari Angkasa Pura II yang merupakan operator bandara) memiliki panjang landasan pacu 3,75 km x 60 meter, dengan dua taxiway berukuran 3,75 x 30 meter dan 2 km x 30 meter, sehingga dapat didarati pesawat berbadan lebar seperti Boeing 747, bahkan juga oleh Airbus A380.

Dengan terminal penumpang seluas 118.930 m2 dan area komersial 19.514 m2, saat ini bandara Kualanamu melayani penumpang lebih dari 8 juta penumpang per tahun dan - menurut situs pengelola bandara - mampu melayani hingga 22.180.000 penumpang per tahun. Meskipun dianggap sebagai bandara kedua terbesar di Indonesia, dibandingkan dengan SHIA (Bandara Sukarno-Hatta di Jakarta), Bandara Kualanamu terpaut jauh dalam jumlah penumpang yang dilayani. Saat ini SHIA melayani sekitar 62 juta penumpang dengan 3 terminal dan 2 landasan pacu.

Bandara Kualanamu adalah bandara pertama di Indonesia dimana bukan-penumpang boleh masuk ke area pelaporan (check-in). Para pengantar bebas masuk ke wilayah yang lazimnya (di Indonesia) hanya diizinkan bagi penumpang, dan karena itu dapat pula berbelanja atau makan-minum di toko, restoran dan kafe yang ada di dalam gedung terminal. Di pelataran tangga turun menuju ruang tunggu terdapat sebuah panggung yang menampilkan pertunjukan musik. Ketika menuju ruang tunggu, saya sempat mampir sejenak menonton seorang biduanita melantunkan lagu-lagu lembut berbahasa Inggris dengan iringan keyboard.

[caption id="attachment_339533" align="aligncenter" width="640" caption="Ada Panggung Musik di Deretan Ruang Tunggu KNIA (dok pribadi)"][/caption]

Dengan berbagai fasilitas yang tampak megah, penguasa Bandara Kualanamu meminta passanger service charge (atau airport tax) Rp. 75 ribu untuk penumpang domestik (sebelumnya Rp. 30 ribu di Polonia) dan Rp. 200 ribu untuk penumpang tujuan luar negeri (sebelumnya Rp. 75 ribu di Polonia). Tarif yang tinggi ini sempat diprotes oleh masyarakat, karena jauh lebih mahal dibandingkan dengan ketika bandara masih di Polonia Medan dan dibandingkan dengan bandara lain di Indonesia, bahkan dengan bandara Sukarno-Hatta yang ada di ibukota negara. Operator bandara bergeming. Tarif tersebut tak bisa ditawar, bahkan Direktur Utama PT Angkasa Pura II masih menuntut tarif airport tax domestik tersebut dinaikkan hingga Rp. 120.000 atau Rp. 150.000. Entah berapa yang mereka akan tuntut untuk penumpang tujuan internasional.

Namun, biaya yang mahal ini tak sebanding dengan kenyamanan yang dapat dinikmati penumpang, seperti yang saya alami ketika menumpang Air Asia dari KNIA ke KLIA2. Ketika tiba waktunya boarding, penumpang masuk ke garbarata yang telah disambungkan ke pintu depan pesawat. Penumpang yang memesan kursi di bagian depan diminta berbaris di kiri dan penumpang di bagian belakang berbaris di kanan. Barisan kiri memasuki pesawat dari pintu depan mengikuti lorong garbarata, sementara  barisan kanan diminta turun dari garbarata melalui tangga, berjalan di landasan dan masuk ke pesawat menaiki tangga di pintu belakang pesawat.

Kejadian yang mirip terjadi lagi ketika kembali dengan maskapai yang sama dari KLIA2 ke KNIA. Garbarata dipasang, tetapi baru saja masuk ke mulut garbarata seluruh penumpang diminta turun ke landasan melalui tangga di sisi garbarata dan berjalan menuju terminal. Kekesalan dengan situasi KNIA ini semakin bertambah ketika selepas keluar dari bandara, kendaraan yang saya tumpangi hampir saja bertabrakan dengan kendaraan lain yang masuk ke jalur yang sama. Jalan akses bandara yang belum selesai dikerjakan menyebabkan beberapa segmen sudah dua arah dan beberapa masih satu arah. Malam yang gelap  (lampu penerangan minimum) dan tidak cukup jelasnya rambu-rambu yang menandakan bagian jalan yang mendadak menjadi dua arah menyebabkan pengemudi kendaraan kami tidak mengantisipasi kendaaran lain yang melaju cepat dari arah berlawanan pada jalur yang sama. Untung kami terhindar dari kecelakaan fatal, karena pengemudi sempat membanting stir ke kiri dan tidak ada kendaraan lain di belakang.

Di KLIA2, baik ketika tiba maupun ketika berangkat, seluruh penumpang masuk dan keluar melalui garbarata dari dan menuju terminal. Tidak ada diskriminasi yang menyebalkan seperti di KNIA. Infrastruktur transportasi menuju bandara juga sudah rapi dan aman. Ini saya perhatikan ketika tiba di KLIA2 dan melanjutkan perjalanan dengan taksi ke Kuala Lumpur dan juga ketika menuju KLIA2 dengan kereta cepat. Dengan bandara yang lebih lengkap dan infrastruktur yang lebih baik (yang memakan biaya RM 4 milyar atau Rp 14 triliun lebih) apakah KLIA2 menerapkan airport tax yang lebih tinggi?

Ternyata tidak. Ketika saya periksa tiket saya, ternyata biaya airport tax adalah RM 32 (setara Rp. 125.000) untuk penerbangan internasional. Untuk tujuan domestik penumpang cukup membayar RM 6 (setara Rp. 22.000). Tampaknya Malaysia Airports Holdings Berhad (MAHB) sebagai operator bandara lebih cerdas dan lebih bijaksana dalam mengelola bisnis daripada Angkasa Pura II di Indonesia, sehingga bisa tetap berjaya meskipun menerapkan charge yang lebih rendah daripada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun