Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Politik

"3 Hearts 2 Minds" Penyebab Kegamangan Partai Demokrat Menghadapi Pilpres ?

3 Juni 2014   03:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:47 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di dalam sistem perpolitikan Indonesia, mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah hak, bukan kewajiban partai politik, sebagaimana diatur dalam UU No 2/2008 pasal 12. Dalam UU No 42/2008 diberi persyaratan bahwa capres/cawapres diajukan oleh partai atau gabungan partai yang mendapatkan minimum 25% suara dalam pemilihan umum legislatif atau 20% kursi DPR.

Sebuah partai tentu sah-sah saja untuk tidak menggunakan hak tersebut dengan tidak mengajukan calon presiden atau wakil presiden, baik sebagai pengusung tunggal (seandainya suara atau kursinya mencukupi persyaratan) maupun sebagai bagian dari koalisi partai. Dalam Pemilihan Presiden 2014 ini ada sebuah partai yang tidak menggunakan hak tersebut, yaitu Partai Demokrat. Sikap Partai Demokrat dalam Pilpres ini diputuskan dalam Rapimnas pada tanggal 18 Mei 2014, bersamaan dengan hari pertama pendaftaran pasangan capres/cawapres di KPU.

Meskipun sudah mengatakan tidak mendukung salah satu pasangan capres/cawapres yang diusung oleh dua kubu koalisi partai yang mendaftar, Partai Demokrat mempersilahkan kadernya untuk mendukung secara pribadi capres/cawapres manapun.

Yang mengherankan adalah pernyataan-pernyataan beberapa petinggi partai tersebut  yang menegaskan bahwa visi dan misi pasangan Prabowo-Hatta adalah sesuai dengan visi-misi Partai Demokrat. Lebih lanjut lagi, Prabowo dan Hatta  mengatakan mereka akan meneruskan berbagai program SBY  yang mereka anggap berhasil. Namun, Partai Demokrat tidak secara tegas saja menyatakan mendukung pasangan tersebut ? (ref 1, ref 2, ref 3).

Ketidakjelasan arah dukungan Partai Demokrat berimbas pada gerakan-gerakan petinggi partai mengambil arahnya sendiri-sendiri dan bergabung dengan koalisi yang berseberangan. Marzuki Alie (Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat) berlabuh ke Kubu Prabowo-Hatta, sedangkan Suaidy Marasabessy (anggota Dewan Kehormatan Partai Demokrat). Begitu pula dengan para "bintang" konvensi Partai Demokrat mengambil posisi yang berbeda-beda; Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Sinyo Sarundajang merapat ke Kubu Jokowi -JK, sementara Ali Masykur Musa dan Pramono Edhie Wibowo menurunkan jangkar di Kubu Prabowo-Hatta.

Ketidakjelasan langkah Partai Demokrat dalam Pilpres sudah mulai terasa sejak hitung cepat hasil Pileg 9 April 2014 menunjukkan perolehan suara Partai Demokrat merosot tajam, sehingga tak memungkinkan untuk mencalonkan sendiri capres/cawapresnya. Sementara partai-partai lain kasak-kusuk saling bertemu dan berkomunikasi untuk menjalin koalisi, Partai Demokrat bersikap tenang dan pasif.
Menunggu pengumuman resmi dari KPU mula-mula dijadikan alasan mengapa Partai Demokrat belum menentukan mitra koalisinya. Namun, setelah KPU menetapkan secara resmi hasil perolehan suara dan menetapkan pembagian kursi DPR, kembali Partai Demokrat menunda penyebutan arah koalisi. Kali ini menunggu hasil konvensi Partai Demokrat untuk calon presiden dijadikan alasan. Ketika hasil survai untuk konvensi tersebut lengkap dan keputusan pemenang konvensi diumumkan tanggal 16 Mei 2014, Partai Demokrat tak juga menetapkan langkah ke depan terkait dengan pencalonan presiden.
Menarik membaca alasan dalam Rapimnas yang menyebutkan alasan untuk tidak bergabung dengan partai lain adalah karena  "lebih mulia dan terhormat bagi Partai Demokrat bersikap mandiri dan tidak perlu meminta-minta untuk sebuah kekuasaan."
Alasan ini terdengar kurang meyakinkan.

Benarkah ini alasan yang sebenarnya ?  Jika demikian, mengapa pintu untuk berkoalisi diam-diam tetap dibiarkan terbuka hingga kini ? (ref 4)

Mengapa sebelumnya ada manuver-manuver untuk membangun koalisi dengan memberi hati pada 3 partai pemenang pemilu legislatif jika memang tak berniat menggunakan hak mengajukan capres/cawapres setelah tahu tak mungkin mandiri melakukannya ?  Mengapa masih mengindikasikan kecenderungan memberikan dukungan kepada 2 koalisi dengan alasan kesesuaian visi misi ?

Mungkinkah ketidakjelasan dan ketidaktegasan ini buah dari keragu-raguan pemimpin tertinggi partai dalam membuat keputusan ? Konon, istilah Mandarin untuk sikap tak bisa mengambil keputusan (indecisiveness)  adalah  三心二意 (sānxīn-èryì).  Jika diterjemahkan secara literal, frasa tersebut berarti "3 hearts, 2 minds".  Ruhut Sitompul, juru bicara Partai Demokrat, selalu membela alasan tidak/belum diambilnya keputusan siapa yang akan didukung berkaitan dengan kehati-hatian Ketua Umum partainya. Boleh jadi. Tetapi, boleh jadi juga karena sang pemimpin memiliki "3 hearts and 2 minds", sehingga tak bisa mengambil keputusan pada saat diperlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun