Keempat, partai politik harus menjadi wahana persemaian pemimpin baru Indonesia. Sebuah tempat di mana kedewasaan berpolitik dibangun, kedekatan dengan publik dirawat dan idealisme dijaga. Partai politik bergerak di wilayah kekuasaan, tetapi berakar pada semangat kerakyatan.
Partai politik memiliki budaya politik dan kader yang bervariasi. Hubungan antara partai dengan kader dan pendukung memiliki pola yang bervariasi juga. Variasi-variasi ini memiliki efek pada pola kaderisasi dan rekrutmen pemimpin partai. Dengan pola yang bervariasi itu, secara umum ada dua jalur kemunculan tokoh-tokoh muda partai politik, yaitu jalur aristokratis dan jalur aktivis.
Jalur aristokratis memunculkan generasi baru pemimpin partai yang berasal dari keturunan dan keluarga pimpinan partai yang sudah mengakar. Dinasti politik yang melanggengkan perannya dalam politik melalui regenerasi di partai politik. Praktik ini terjadi di negara demokrasi maju sekalipun. Dia Asia, beberapa negara demokrasi, seperti India, Pakistan, Jepang, dan Filipina, menunjukkan fenomena yang hampir sama.
Jalur kedua adalah jalur aktivis. Jalur ini memunculkan generasi baru pemimpin partai yang berbasis pada aktivisme politiknya. Generasi baru ini bukan bagian dari dinasti-dinasti politik di partai politik. Mereka adalah anak-anak muda yang mengekspresikan semangat aktivismenya sejak muda dan memilih untuk memasuki partai politik.
Persoalan yang sering muncul adalah ketika jalur aristokratis dan jalur aktivis ini tidak dihadapkan pada sistem meritokrasi di partai politik. Bila meritokrasi itu absen, partai politik punya kencenderungan memenangkan jalur aristokratis. Partai politik yang didukung massa yang loyal pada figur atau dinasti politik pada akhirnya hanya sekadar ekspresi sebuah dinasti politik. Situasi ini bisa memaksa aktivis partai berkompromi dan menjadi penopang eksistensi dinasti tersebut. Di sinilah awal mandeknya peran partai politik sebagai supplier pemimpin yang mumpuni.
Situasi ini bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga terasa di tingkat lokal. Ketika ikatan-ikatan tradisional masih sangat mewarnai budaya politik lokal, absennya meritokrasi menyebabkan kekuatan politik berbasis simbol- simbol tradisional dan kultural bisa mendominasi partai politik di tingkat lokal.
Ketika situasi ini terjadi, pemimpin partai semata-mata adalah refleksi kekuatan kultural di dalam partai, bukan refleksi potensi kepemimpinan dan kekuatan politik seseorang. Retorika pemimpin bisa saja nonpartisan, tetapi pengakuan atas kepemimpinannya menjadi sangat partisan (sebatas internal partai). Kehadiran meritokrasi bagi partai politik bisa membantu membereskan masalah ini. Regenerasi dari sumber aristokratis dan aktivis bisa berujung pada suplai pemimpin jika regenerasi merupakan cermin proses meritokrasi.
Pada dasarnya, partai politik merupakan supplier utama pemimpin politik di Indonesia. Dan, memang salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi. Akan tetapi, menjalankan fungsi kaderisasi ini memerlukan situasi yang kondusif. Partai bisa melakukan kaderisasi bila kader sadar bahwa mereka memiliki peluang ”berkarier” di partai politik. Apabila kader-kader muda melihat adanya peluang untuk menduduki posisi-posisi kunci di partai politik, kaderisasi di institusi partai politik akan dinamis. Dengan begitu, partai politik bisa menjadi wahana untuk menjaring anak-anak terbaik Indonesia guna menjadi pemimpin politik, baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H