Itulah asyiknya liburan, bisa membabat habis beberapa buku tebal yang teranaktirikan selama hari-hari kerja. To Kill a Mockingbird adalah salah satunya. Karya sastra klasik sejenis Pride and Prejudice dll. ini memang ga ada matinya, abadi sepanjang masa, dan sudah lama saya incar untuk dibaca. Kebetulan saya beli edisi Goldnya, jadi covernya biarpun cuma soft cover, tetap menarik dengan mode hologramnya.
Kisah ini bercerita tentang perjuangan seorang ayah untuk membela seorang tertuduh kulit hitam yang difitnah melakukan tindakan perkosaan, melalui kacamata anak perempuannya yang berusia 8 tahun, Scout. Walaupun intinya mengisahkan tentang upaya sang ayah, cerita tidak melulu berkisar di topik itu. Kisah masa kecil Scout dan abangnya Jem serta sahabat mereka Dill, mengisi hampir setengah bagian buku ini. Masing-masing bab secara kaya berkisah tentang petualangan mereka, mulai dari usaha untuk mengenal Boo Ridley, tetangga mereka yang misterius, seorang pria yang tidak pernah keluar rumah selama puluhan tahun sehingga mengundang rasa penasaran ketiga bocah cilik ini, petualangan menghadapi anjing gila untuk pertama kalinya, perkenalan lebih dalam dengan oma-oma jutek yang sudah sakit parah menjelang ajalnya, bahkan sampai upaya pembunuhan terhadap kedua anak itu sebagai efek dari penolakan terhadap usaha heroik ayah mereka dalam menegakkan keadilan. Hampir semuanya yang terjadi di sini manis, mengundang senyum, membawa sengat hangat di hati, termasuk saat kita disuguhi terms Mockingbird dan kaitannya dengan sang judul.
Scout dan abangnya Jem yang cenderung dewasa sebelum waktunya di bawah pengawasan ayahnya, Atticus, seorang pengacara sekaligus single parent, merupakan tokoh sentral dari kisah ini. Scout yang pemarah dan "ngototan", Jem yang sok tua, Dill yang polos dan nakal, Atticus yang bijak, sabar dan punya integritas tinggi sehingga mengundang simpati kita, Calpurnia, pelayan perempuan berkulit hitam yang mengasuh kedua anak itu dengan karakternya yang keras dan kaku, Bibi Alexandra yang pongah, semuanya merupakan karakter-karakter yang kuat, yang membuat kisah ringan ini enak dibaca. Komentar-komentar Scout yang dewasa sekaligus kepolosannya yang bertentangan menjadi daya tarik sendiri yang membuat kita sulit melepaskan buku ini.
Berlatarbelakang kehidupan di Alabama yang keras di masa itu dengan segala pergolakan tentang rasisme dan kualitas hidup, kisah bahagia masa kecil Scout dan Jem laksana embun sejuk di tengah terik. Cerita tentang keluguan dan cinta tulus khas anak-anak disajikan berbaur dengan dunia pengadilan, perselisihan, dunia antar tetangga yang saling bersaing, bahkan kekerasan dan pembunuhan. Tidak heran kisah semacam ini berhasil memenangkan Pulitzer Award yang tersohor itu. Yang bikin penasaran, si pengarang Harper Lee kabarnya cenderung menutup diri setelah membuat buku ini, satu-satunya masterpiecenya. Menarik ya.. Laksana Scout yang selalu penasaran, saya jadi penasaran juga tentang histori si pengarang.
Anyway apapun feedback yang didapat selesai membaca buku ini, To Kill a Mockingbird membuat kita melek sejarah, menyentuh sekilas hati kita akan rasa kemanusiaan dan keadilan yang miskin di masa itu (dan mungkin masa sekarang), serta menghadirkan sejuta rasa manis dan haru yang berkecamuk di hati. Sosok Atticus memang disajikan terlalu sempurna, tapi porsinya cukup pantas untuk tidak membuat kita mengernyitkan dahi.
I love this book!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H