Saya paling tidak suka dengan orang yang mudah berjanji tapi susah (mungkin juga ogah) menepati janji. Apalagi jika sudah pakai kata ‘Sumpah! Demi Tuhan’. Wah, lebih baik ‘tutup mulut’ saja ketimbang menambah dosa sebab sudah berani main sumpah-sumpahan sambil menyebut nama Tuhan - seolah-olah - sebagai jaminan. Yang berjanji siapa, yang menjamin kok, Tuhan? Bagaimana kalau saat kita ‘kembali ke pangkuanNya’, Tuhan bertanya : Kenapa kamu selalu bersumpah demi namaKu? Nah, lho! Apa yang mesti kita jawab? Apakah kita hanya bisa diam seribu bahasa sambil menunduk malu binti takut?
Sejujurnya, saya juga pernah ‘rajin’ mengucapkan janji-janji tapi malas (tepatnya tidak mau) merealisasi janji-janji itu. Saya berjanji hanya untuk menenangkan dan menyenangkan hati mereka yang suka meminta (sampai pakai acara merayu dan memuji), menuntut, kadang mendesak saya untuk melakukan (termasuk memberikan) sesuatu pada mereka. Padahal dalam lubuk hati saya ‘enggan’ melakukan dan memberikan.
Hingga pada suatu ketika, saya merasakan sendiri betapa menjengkelkan jadi orang yang diiming-imingi janji-janji, entah itu janji sepele seperti akan ditraktir makan di resto mahal, maupun janji yang menimbulkan H2C (harap-harap cemas) di hati berupa : order besar yang akan menggemukkan pundi-pundi saya.
Masih banyak ‘janji-janji’ yang melenakan telinga dan membuai hati saya yang tak mungkin disebutkan semua. Yang jelas, janji-janji palsu berlumuran gula itu membuat saya sedih, kecewa, jengkel, marah dan mencetuskan satu janji dalam hati saya untuk tidak mudah berjanji bila tak yakin bisa memenuhinya. Lebih baik saya berkata terus terang bila saya tak bisa melakukan atau memberikan sesuatu yang diminta. Sebab saya tak mau dicap ‘Pengobral janji kelas wahid!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H