[caption id="attachment_41129" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi -admin (shutterstock)"][/caption] Sejak masih kuliah saya punya mimpi bisa ke Eropa terutama ke Venezia. Alasannya sederhana. Saya ingin sekali merasakan naik gondola yang asli dari negara asalnya. Bukan sekadar gondola-gondola-an dengan kanal-kanal buatan seperti yang pernah saya lihat di Genting, Malaysia. Dan, keinginan itu tercapai pada bulan Juni 2007.
Meskipun tarifnya lumayan mahal. Sekitar 80 euro per orang tapi saya benar-benar enjoy naik gondola. Saat gondola melaju, saya bagai dibuai dalam ayunan, diiringi dengan suara kecipuk air. Hmm, jadi ingin tidur deh.
Sayangnya, waktu itu sedang summer dan cuacanya lumayan panas. Timing-nya juga tidak pas. Pukul 14 ‘kan lagi panas-panasnya. Seharusnya kalau mau bergondola ria, ambil waktu sore hari saat matahari sudah mulai ngantuk. Pasti indah dan romantis (kalau saja pacar saya ikut serta... ehem.....) menikmati suasana senja sambil bergondola.
Selain asyik menikmati ayunan gondola, mata saya juga dimanjakan oleh cowok-cowok pengayuh gondola (bahasa kerennya Gondolier). Gila, cing! Mereka benar-benar kereeeenn! Meskipun kostumnya seperti kulit Zebra (T-shirt motif garis hitam putih dipadu celana panjang hitam) tapi bodynya yahuuud! Tinggi tegap dengan lengan kekar berotot. Wajahnya ...hmm....tak kalah dengan Brad Pitt. Membuat mata tak jemu memandang.
Walaupun di Indonesia profesi mereka sama dengan Tukang Sampan tapi saya yakin, kalau mereka ke Indonesia, pasti bakal ganti profesi menjadi pemain sinetron.
Namun, dibalik wajah ganteng dan tubuh gagah mereka, tersimpan karakter yang eleuh ..eleuh....galak pisan euy! Adik saya sempat dibentak-bentak karena posisi duduknya yang tidak benar menyebabkan gondola bergoyang.
Semula saya mengira, dia membentak saya. Karena waktu itu saya tidak bisa duduk manis. Leher muter-muter (mirip kepala boneka nyaris copot), tangan menunjuk ke sana kemari, mulut ngoceh tiada henti dan minta difoto dan di shoot berkali-kali. Maklum, pertama kali bergondola ria jadi norak banget.
Tapi karena sang gondolier memakai kacamata hitam, saya dan adik tidak tahu siapa yang dia tegur. Padahal bahasa Inggrisnya lumayan bagus. Mungkin karena telinga Indonesia kami saja yang tidak tokcer
Setelah berulang kali sang gondolier ngoceh, baru saya mengerti. Ooo...dia minta adik saya memperbaiki posisi duduknya supaya gondola tidak miring sebelah dan kehilangan keseimbangan. Kalau itu terjadi, kami semua bisa kecebur. Ya ampun, ngasih tahu begitu saja kok pakai bentak-bentak sih. Saya langsung nyeletuk (pakai bahasa Indonesia, biar dia tidak mengerti) : "Idih, cakep-cakep galak!"
"Gaya ngomong mereka memang begitu. Kasar. Seperti orang Batak." Celetuk seorang ibu, peserta tour yang satu gondola dengan saya. (Maaf, buat yang merasa dirinya orang Batak, tidak ada maksud menyinggung lho! ) Rupanya, ibu ini sudah pernah ke Venezia jadi tahu banget ‘gaya' nya orang sana.
Hmm, saya jadi punya julukan buat sang gondolier. How about 3G (baca : Triji) ? GONDOLIER GANTENG tapi GALAK! He.. he.. he.....!