Mohon tunggu...
Fanny Fajriah
Fanny Fajriah Mohon Tunggu... -

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Camaleon

19 Oktober 2013   20:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:18 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jemarinya dengan lincah menuliskan setiap kata dan setiap rasa dalam kertas kosong yang hampir nyaris menjadi pengisi rasa sepinya. Rasa sepi yang sejak tiga tahun lalu mulai akrab dengannya. Rasa sepi setelah segalanya telah direnggut oleh semua omong kosong para penjilat-penjilat ulung. Penjilat yang telah merebut keluarga dan kebahagiaanya. Camaleon gadis belia yang sejak kelas tiga SMP harus merasakan hidup tanpa keluarga. Ia harus hidup di sebuah panti asuhan yang tidak terlalu besar di pinggiran Ibukota. Camaleon seorang gadis remaja yang hampir seluruh waktunya dihabiskan hanya menyendiri di bawah pohon di sudut panti asuhan.
Kehilangan keluarganya membuat Camaleon tumbuh menjadi gadis tertutup. Ia memiliki ketakutan luar biasa pada semua orang yang belum ia kenal. Kejadian tiga tahun silam selalu mengahantuinya. Kejadian dimana ia melihat seluruh keluarganya dibunuh dengan sadis oleh sekelompok orang. Ia melihat Ibunya harus meregang nyawa di tangan orang yang berpakaian serba hitam, sementara ayah dan kakak laki-lakinya meregang nyawa dengan tubuh terikat dan mati kehabisan nafas karena wajahnya terus dibenamkan ke dalam air berulang kali. Semantara hanya Camaleon yang selamat dari pembantain tepat di hari ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibunya. Camaleon yang bersembunyi di lemari luput dari para pembunuh itu.
Keberanian ayahnya untuk membongkar betapa boboroknya birokrasi tempat ayahnya bekerja menyebabkan semua kejadian tragis itu harus terjadi. Meyebabkan Camaleon harus menjadi yatim piatu. Para penjilat dan manusia-manusia yang serakah tidak terima dengan sikap ayahnya karena mereka merasa terancam.
Sifat Camaleon yang selalu sendiri dan menutup diri membuatnya terlihat aneh dimata teman-temannya. Tapi sosok cantiknya tak pernah pudar tidak seprti sinar matanya yang dari hari ke hari kian meredup. Tubuhnya yang tinggi dengan rambut lurusnya membuat wajah orientalnya terlihat semakin menarik.
Camaleon si penyendiri yang tak pernah mempunyai teman di sekolah atau di panti asuhan. Ia terlalu sibuk mengatasi rasa takut dan rindu yang sering menjadi luka. Rindu pada Ayah, Ibu dan kakanya. Kebiasan Camaleon yang selalu duduk menyendiri di perpustakaan saat istirahat, membuat Rega salah satu siswa di sekolahnya selalu meperhatikan Camaleon. Rega melihat Camaleon dari sisi yang berbeda. Camaleon seperti pelangi yang selalu menarik untuk diperhatikan. Mata redup Camaleon selalu membuat Rega ingin tahu semua tentang sosok penyendiri itu. Sosok yang selalu mengganggu setiap diamnya Rega.
Camaleon yang menyadari sejak tadi sedang diperhatikan langsung menutup bukunya dan memilih pergi. Ia begitu asing melihat tatapan Rega. Sementara Rega yang melihat Camaleon pergi langsung mengejarnya.
“Hei, mau kemana?” kali ini Rega berada di depan  Camaleon. Camaleon kaget dan nyaris berteriak, tapi tangan Rega dengan sigap menutup mulutnya. Trauma yang dialami Camaleon membuat ia memiliki ketakutan yang luar biasa pada setiap orang asing yang ia temui. “Tenang lo ga usah takut. Gue Rega anak kelas dua belas IPS 4.” Rega berbisik agar suaranya tidak mengganggu pengunjung yang berada di perpustakaan. Melihat Camaleon yang mulai tenang membuat ia melepaskan tangannya dari mulut Camaleon. Dengan wajah tertunduk dan pucat Camaleon  langsung pergi setengah berlari. Kali ini Rega tidak bisa menahannya karena penjaga perpustakaan kini sedang menetapnya.
*****
Rega semakin sering memperhatiakan Camaleon secara diam-diam. Memperhatikan setiap gerak geriknya. Mencoba melihat sisi lain dari Camaleon dalam diamnya dan dalam kesendiriannya. Kebiasaan Rega pun mulai berubah. Kini setiap istirahat ia betah berlama-lama berada di dalam perpustakaan hanya untuk memperhatikan Camaleon. Ia begitu penasaran dengan apa yang selalu ditulis Camaleon. Kali ini Rega sengaja duduk di sebelah Camaleon yang sejak tadi sibuk menorehkan pulpennya di atas buku yang selalu ia bawa. Entah apa yang ia tulis. Keberadaan Rega yang secar tiba-tiba membuat Camaleon secara refleks menoleh dan siap berdiri ketika mengetahui Rega berada di sampingnya.
Rega langsung memegang tangan Camaleon menahannya untuk jangan pergi. “Lo mau kemana?” seperti biasa Camaleon tak pernah menjawab, ia hanya diam dan berusaha melepaskan tangannya dengan wajah yang lagi-lagi selalu tertunduk.
“Gue ga akan ngelapasin tangan lo, kecuali lo tetap duduk disini dan lo ga mungkin bisa teriak karena disini dilarang berisik.” Rega benar-benar terus memegang tangan Camaleon dan ia sedang tidak main-main dengan kata-katanya.
“Mau sampe kapan berdiri gitu? Gue ga akan ngelepasin tangan lo. Tapi lo bisa ngomongkan, dari tadi diem aja.” Mendengar perkataan Rega, Camaleon akhirnya terpaksa memilih duduk karena sejak tadi banya pasang mata yang menatapnya.
“Nah gitu dong, berdiri kan capek. Gue janji ga bakal ganggu, lo nulis aja. Anggep aja gue ga ada.”  Camaleon kembali sibuk kepada bukunya. Sementara Rega tetap duduk di seblah Camaleon dengan terus memperhatikannya dengan jarak yang cukup dekat. Rega memperhatikan mata redup milik Camaleon yang semakin membuatnya penasaran, rega yakin sesuatu yang tersembunyi disana.
“Kamu kenapa si ngeliatin aku terus!” Camaleon menutup bukunya agak keras.
“Gue suka sama mata lo.” Kata itu yang keluar dari mulut Rega, ia sama sekali tidak memperdulikan rasa tidak nyaman Camaleon. Mendengar jawaban Rega kali ini Cmaleon benar-benar kesal dan ia kembali memutuskan pergi.
“Lo mau kemana lagi?” tangan Rega lagi-lagi menahan tangan Arion.
“Aku ga biasa ngobrol sama orang asing.”
“Tapi buat gue lo bukan orang asing.”
“Tapi buat aku kamu orang asing!”
“Oke mulai sekarang gue ga lagi jadi orang asing buat lo.”
“Kamu tuh gila ya.”
“Terserah lo, sekarang gue antar lo ke kelas sebentar lagi masuk.”
“Aku bisa ke kelas sendiri. Tolong lepasin tangan aku.”
“Ga usah bawel. Lo gue antar ke kelas.” Rega menarik Camaleon memaksa mengikuti langkahnya.
Saat Rega dan Camaleon masuk semua mata menatap ke arah mereka karena sejak tadi tangan Camaleon dipegang oleh tangan Rega. Saat semua mata menatapnya, Camaleon langsung segera menarik tangannya dan ia langsung duduk di tempatnya tanpa melihat wajah Rega.
“Lo inget ya. Mulai detik ini gue bukan lagi orang asing buat lo. Dan gue ga akan ngebiarin lo ngerasa asing sama gue.” Bisik Rega pada Camaleon.
Rega melakukan itu karena ia tau betul bahwa Camaleon benar-benar membutuhkan teman untuk mengatasi kegelisahannya selama ini. Rega seperti melihat seorang anak kecil tengah menangis di ruang yang sangat gelap karena ketakutan pada diri Camaleon. Ah membicarakan Camaleon tidak akan pernah ada habisnya. Sosok cantik dan penyendiri itu begitu mengambil alih semua pikiran Rega.

Bersambung.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun