Mohon tunggu...
Fanny Elvira Wulandari
Fanny Elvira Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

selamat datang!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Pulau Rempang Menurut Mazhab Hukum Positivisme

24 September 2024   20:50 Diperbarui: 24 September 2024   21:24 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Fanny Elvira Wulandari

NIM : 222111102

Seperti yang kita ketahui beberapa waktu lalu terkait dengan kasus di Pulau Rempang, kasus tersebut sangat viral pada saat itu.

Bermula pada Kamis, 7 September 2023, kerusuhan terjadi di Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Bentrokan pecah antara warga setempat dan petugas gabungan dari Polri, TNI, Ditpam BP Batam, dan Satpol PP saat pengukuran lahan untuk pengembangan kawasan oleh BP Batam.

Ketegangan meningkat ketika tim gabungan tiba dan dihadapkan pada demonstrasi warga yang menolak proyek pengembangan. Konflik memuncak saat gas air mata ditembakkan, menyebabkan kepanikan di antara warga dan kerumunan yang berdesakan. Laporan mencatat bahwa beberapa siswa sekolah mengalami masalah kesehatan akibat menghirup gas air mata yang terbawa angin, karena sekolah mereka berdekatan dengan lokasi kerusuhan.

Sebuah video yang dibagikan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Twitter menunjukkan kendaraan kepolisian menyemprotkan air. Di dalam video, aparat meminta warga untuk mundur, dan beberapa warga terlihat ditangkap pada akhir tayangan. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengonfirmasi bahwa video tersebut diambil oleh warga setempat.

Masyarakat adat di 16 kampung tua Pulau Rempang menolak relokasi yang disebabkan oleh pembangunan Eco City, karena kampung-kampung tersebut memiliki makna historis dan kultural yang dalam, bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak menolak pembangunan itu sendiri, tetapi menolak jika harus pindah.

Gerisman Ahmad, Ketua Keramat Rempang dan Galang, menegaskan bahwa warga tidak keberatan dengan pembangunan asalkan kampung-kampung lama tidak terganggu. Ia menjelaskan bahwa masyarakat Pulau Rempang dan Galang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah menetap di sana lebih dari seratus tahun. “Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga,” tambahnya. Menurut Gerisman, pemerintah pusat sejak itu tidak memberikan perhatian yang cukup kepada masyarakat adat di Rempang, terutama terkait legalitas tanah yang mereka huni.

ANALISIS KASUS MENURUT MAZHAB POSITIVISME HUKUM

Analisis kerusuhan di Rempang dari perspektif mazhab hukum positivisme berfokus pada norma hukum yang ada dan bagaimana penerapannya. Positivisme menegaskan bahwa hukum terdiri dari aturan-aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau nilai sosial. Dalam konteks ini, tindakan pemerintah dan BP Batam dalam melakukan pengukuran lahan serta pengembangan kawasan dapat dinilai dari segi legalitas prosedural yang telah mereka ikuti. Jika semua langkah hukum, seperti izin dan prosedur perencanaan, telah dipatuhi, maka tindakan tersebut dapat dianggap sah menurut perspektif positivisme.

Namun, terdapat tantangan terkait hak masyarakat adat atas tanah yang mereka huni. Meskipun pemerintah mungkin memiliki dasar hukum untuk melaksanakan pembangunan, pengabaian terhadap hak-hak historis dan kultural masyarakat adat menunjukkan kegagalan dalam melindungi kepentingan mereka, meskipun secara formal tidak melanggar norma hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun