Sedari awal pertemuan aku sudah langsung menanamkan bibit tidak suka terhadap calon mertua perempuanku. Ia sudah lama menjanda. Pengaruhnya sangat dominan terhadap keluarga. Terutama sang putra sulung. Kurasa dialah yang mempengaruhi putranya untuk mengambil putusan mengambilku sebagai istri.
Tanpa mengindahkan kepantasan, di hadapan kedua orangtuaku ia membisiki putranya dengan suara yang volumenya tidak dikecilkan.
"Lihat dadanya." Ia menunjuk tubuhku yang saat itu tengah berlutut di hadapan mereka untuk menyajikan teh. "Ia pasti subur. Akan melahirkan banyak putra untukmu."
Sepertinya ia menganggapku ternak peliharaan yang diharapkan bakal memberikan banyak keturunan untuk keluarga Tsang. Sangat menyebalkan!
Dua minggu kemudian proses pernikahan kami dilaksanakan secara adat. Tuan Tsang menolak penyelenggaraan pesta secara besar-besaran. Kurasa kegagalan pernikahannya dulu meninggalkan trauma cukup berat untuknya.
Suamiku lelaki yang sangat tidak menarik. Tubuhnya tambun. Gerak-geriknya lamban. Mencerminkan sosok penikmat hidup keduniawian. Dingin dan sangat irit bicara.Â
Sikapnya terhadapku canggung. Tidak punya inisiatif mengambil langkah untuk mengakrabiku sebagai calon istrinya.
Beberapa kali kudapati ia sedang memandangku, namun segera membuang muka bila kubalas tatapannya. Ini menunjukkan rasa percaya dirinya yang payah.Â
Namun bagaimanapun ia kini adalah satu-satunya tumpuan harapanku bagi kelangsungan hidup dan reputasi keluarga. Aku harus mempersiapkan diri untuk mendekati serta bernegosiasi dengannya.
Upayaku dimulai dari kamar pengantin pada malam pertama kebersamaan kami.
Aku duduk bersimpuh di lantai kamar menantikan kedatangan sang pengantin pria. Wajahku tertutup kain cadar merah yang berat menyesakkan.