“Frans,” panggilku mengambil kedua tangannya. Menggenggamnya. “ kuharap engkau baik-baik saja.”
Ia tidak menjawab. Merespons genggamanku dengan cengkeraman erat. Ditatapnya aku lekat-lekat.
“Senang melihatmu,” katanya. “Engkau nampak cantik sekali dengan kehamilanmu. Memancarkan kelembutan dan keanggunan calon ibu.”
Aku tahu bukan itu yang sebenarnya ingin ia ungkapkan dalam pertemuan kami. Jadi Kubiarkan keheningan berlangsung beberapa lama.
Akhirnya ia menarik napas panjang. Menyusut keningnya yang dipenuhi titik keringat.
“Aku menyesal atas apa yang telah kulakukan terhadapmu,” suaranya parau.
“Ternyata perasanku terhadapmu tidak sesederhana itu. Tiap hari engkau seperti membayangi . Aku ternyata tidak bisa hidup tanpamu.” Ia kembali meremas dan mengguncang tanganku. “Sungguh!” Ia mengangguk beberapa kali ingin meyakinkan ku.
Aku tidak ingin terjebak dalam situasi. Tidak dalam kondisi seperti sekarang, tatkala sesosok makluk kecil sedang berada di dalam rahimku. Siap menyongsong kehidupan baru yang indah menjanjikan. Sumber kehidupan baru yang dititipkan Tuhan untuk ku lahirkan dan kucintai.
Ku akhiri pertemuan hari ini dengan perasaan hancur. Bagai duri yang tiba-tiba disematkan kedalam hatiku. Karena aku tahu orang yang kucintai ternyata tidak bahagia! Beban itu rupanya menjadi tanggunganku hari-hari selanjutnya. Terjebak oleh cinta pertama yang tak terlupakan.
Putra pertamaku lahir dengan selamat. Beratnya 4,1 kg dan panjang 50 cm. Tampan dengan rambut lebat dan ikal.
Pak Bas tidak ingin anak kami jatuh dibawah pengasuhan baby sister. Juga mengharuskan aku menyusui bayiku hingga enam bulan, sesuai anjuran dokter. Tanpa tambahan makanan apapun.