Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perselingkuhan

10 Juni 2021   07:30 Diperbarui: 10 Juni 2021   07:51 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Akan kusuruh pak Dahlan sekarang juga ke rumah.” Ia mewanti-wanti agar aku pergi dengan mobil dan supir pribadinya.

Kami memilih bertemu di rumahmakan  tradisional yang dibangun diatas sungai Banjaran. Sambungan sungai Serayu yang melingkari kotaku. Aku ingat masa-masa kami mulai pacaran dulu. Senang berdiri diatas jembatan sewaktu sore. Mengamati aliran sungai yang jernih dengan bebatuan besar berserakan menghiasi tepiannya. Di sanalah kami asyik memandangi para ibu yang mencuci pakaian sambil mandi dengan riangnya. Menjelang senja kami bergandengan pulang ke rumah masing-masing dengan benak dipenuhi harapan kelak bakal hidup bersama selamanya.

Selanjutnya rumahmakan yang seluruh dindingnya terdiri dari bambu dengan bentuk ruang terbuka itu bakal menjadi tempat kami berkencan secara tetap. Bangunannya luas. Dihiasi meja-kursi berbentuk bale-bale yang nyaman diduduki. Sajian menunya ringan. Kebanyakan masakan Banyumasan seperti sayur pakis, oseng eceng gondok dan ikan Uceng atau Lembutan goreng. Tidak ketinggalan tentunya mendoan dan goreng tempe bongkrek.

Aku berjalan memasuki rumahmakan dengan gelisah. Sangat tidak nyaman dengan perutku yang mulai membuncit dan kusamarkan dengan gaun berpotongan longgar.

Setelah berpisah hampir satu tahun aku ingin menguji diri sendiri, sejauh mana aku berhasil menangkal arti dirinya bagi diriku. Sayang aku gagal!

Frans memilih duduk di sudut ruangan yang bisa memberi keleluasaan bagi kami menyaksikan gambaran sawah dan sungai yang saat itu memancarkan kilau bagai manik-manik tersorot matahari tengah hari yang berada di puncak kulmulasi.

Frans berusaha mencairkan kecanggungan diantara kami dengan menyongsong dan menggandeng tanganku menuju meja kami.

“Terimakasih engkau mau memenuhi undanganku,” katanya dengan ekspresi haru. Lalu menarik kursi dan mengatur posisinya untuk membuatku bisa duduk dengan nyaman.

Aku duduk menyesap air kelapa muda sambil menikmati hembusan angin yang mengurangi rasa gerah akibat perubahan fisikku. Perlahan ku cermati wajah lelaki yang pernah amat kucintai itu.

Frans secara fisik tidak banyak berubah. Wajahnya mengguratkan ketampanan orang muda yang rapi dan terawat sempurna. Satu-satunya yang mengkhianati penampilannya hanyalah sorot matanya. Tidak lagi tajam penuh keyakinan seperti dulu. Nampak muram dan redup, bagai dian yang hampir padam kehabisan minyak.

Aku menarik napas panjang. Sedih terbawa oleh ekspresinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun