Dua bulan kemudian aku hamil. Pak Bas menerima kabar itu bagaikan kejatuhan bintang dari langit. Aku dipeluk dan diciuminya bertubi-tubi tanpa mengindahkan beberapa karyawannya yang memandangi kami dengan canggung.
Dia memaksa ku memilih sesuatu yang berharga sebagai hadiah.
“Apapun!” Desaknya. “Pasti akan kubelikan.”
Ketika itu kedua kakak lelakiku sudah bekerja sebagai salesman dengan gaji pas-pasan. Mereka cuma lulusan SMA, tidak punya biaya melanjutkan sekolah. Aku ingin membelikan sebuah kendaraan niaga agar mereka bisa berdagang keliling pelosok kampung. Yang satu mengemudi, sedang yang lain bertindak sebagai sales. Sebisa mungkin aku ingin membantu keluarga keluar dari kemiskinan.
Dengan hati-hati kuajukan rencana ini kepada pak Bas.
“Kok cuma itu!” Keluhnya sambil mengusap kepalaku. Ia nampak kecewa. “Itu persoalan kecil. Besok akan ku mintakan dealer menghubungi kakakmu agar bisa memilih sendiri kendaraan yang pas untuk rencana mereka,” lanjutnya. “Tapi aku ingin memberimu sesuatu yang spesial,” desaknya.
Aku tersenyum. “Semua yang Kuterima sudah sangat spesial. Aku tak membutuhkan apa-apa lagi.” Aku tidak sedang berbasa-basi. Merasa hidupku sudah tercukupi secara materi.
Yang kubutuhkan saat ini adalah sentuhan emosional agar taman kehidupanku tidak menggersang.
Usia kandunganku tujuh bulan ketika Frans menghubungiku via adik perempuannya. Ia menjanjikan hanya akan menemuiku satu kali saja. Ada sesuatu yang sangat ingin diungkapkannya kepadaku.
Waktu itu pak Bas sudah berangkat ke kantor. Dengan hati-hati kuungkapkan hasratku menemui seorang teman lama terhadap beliau. Andaikan ia keberatan aku akan menurutinya. Bagaimanapun aku kini adalah istrinya.
Ternyata pak Bas lebih mempertimbangkan kondisi fisikku yang kurang leluasa pergi dengan kendaraan umum ketimbang ingin tahu siapa teman yang akan kutemui.