Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perselingkuhan

10 Juni 2021   07:30 Diperbarui: 10 Juni 2021   07:51 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spontan tawanya meledak. Sambil Merangkulku berjalan ke parkiran ia menjelaskan sumber keuangannya berasal dari murid lesnya. Anak tunggal pemilik pabrik Garmen di Majalaya. Menurut Frans seminggu dua kali ia memberikan bimbingan belajar kepada anak itu yang ingin mengikuti tes masuk universitas.

“Lha mobilnya?”

“Ayahnya yang meminjamkan,” ia menjelaskan. “Supaya tidak sulit mengunjungi keluarganya. Ia tahu aku tidak punya kendaraan. Dan anaknya butuh teman.”

Ku telan keterangannya tanpa prasangka apa-apa.

Sayangnya ia begitu mudah meruntuhkan kepercayaan serta cintaku yang tulus kepadanya. Suatu siang tahu-tahu sudah berada di gerbang kampusku di jalan Cimbeluit. Frans mengajakku ke sebuah kafe di jalan Dago mengendarai mobil “teman baru”nya. Air mukanya menunjukkan sesuatu akan terjadi terhadap kami berdua. Tapi aku hanya berdiam diri menunggu reaksinya.

Kami duduk di halaman kafe, menikmati keindahan kota Bandung yang kali ini tidak menggugah minatku untuk mengaguminya. Kusesap teh manis hangat yang dihidangkan bersama oncom dan tape goreng.

Ia mulai meluapkan perasaannya sebagai orang muda miskin tanpa masa depan. Kalau kami menikah kelak pasti hanya akan membuatku hidup susah.

Ku raih kedua belah tangannya yang dingin sedikit bergetar. Menggenggamnya erat, ingin menyusupkan kehangatan dan kekuatan kepada kekasihku yang nyaris membuat hatiku menciut. Ia tidak lagi seperti Frans yang kukenal selama ini. Begitu optimis dan penuh kepercayaan diri.

“Aku tidak takut hidup miskin bersamamu,” sanggahku. “Kita berdua masih muda. Bukan orang bodoh. Fisik juga sehat. Kita akan saling bahu-membahu membangun masa depan. Kita pasti sukses!”
Aku memberi tekanan terhadap kalimat terakhirku. Berharap ia mau meyakini apa yang Kupercaya pasti mampu kami wujudkan berdua.

“Ah kamu ngerti apa!” Ia mengibaskan tangan dengan ekspresi merendahkan. “Aku punya empat orang adik yang harus kubantu. Karena ayahku sudah tua. Sebentar lagi ada dua adikku yang harus kuliah. Kalau aku menikah denganmu bagaimana nasib mereka? Kita pasti hanya mampu membiayai hidup kita saja!” Ia memandangku tajam.

Sikapnya yang bernada menimpakan seluruh kesalahan kepadaku membuat sekujur badanku tiba-tiba mendingin. “Jadi.....?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun