Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perselingkuhan

10 Juni 2021   07:30 Diperbarui: 10 Juni 2021   07:51 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Frans....” aku menarik napas panjang. “Aku sama sekali tidak tertarik dengan Sorga dunia yang kau tawarkan kepadaku.” Kataku tegas. “Aku sudah memiliki Sorgaku sendiri.” Kulanjutkan sambil memberi tekanan berat kepada kalimat terakhirku.

“Ia ada bersama suami dan kedua anakku!”

Hari berat yang ku awali sedari pagi - tatkala aku pergi dari rumah dengan semangat bergelora - sudah berakhir. Kabut malam mulai muncul ketika Kutinggalkan tempat pertemuan yang menyandera hidupku sekian lama dengan perasaan ringan. Akhirnya aku berhasil mencabut duri itu.
Frans masih duduk terpekur di situ dengan ekspresi yang mengingatkanku kepada yang kualami belasan tahun lalu. Disaat ia memutuskan hubungan kami begitu saja. Meninggalkan ku sendirian dengan perasaan hancur.

 Aku tiba di rumah tatkala jam menunjukkan pukul 07.20. Waktu makan malam dalam keluarga kami sudah lama lewat. Tetapi suami dan kedua anakku masih duduk menghadapi hidangan yang hampir memenuhi seisi meja. Sudah mendingin namun belum tersentuh sama sekali.

“Kenapa kalian belum makan?” Tanyaku.

“Menunggu mama!” Anak bungsuku menjawab lantang. “Gak asyik bila makan gak bareng mama!”
Suamiku menarik kursi di sebelahnya. Menekan bahuku agar duduk di situ.  

“Akan kuambil piring dan minum untukmu!” Katanya sambil beranjak ke dapur. Kudengar ia memanggil pembantu setia kami. Menyuruhnya menghangatkan kembali kuah daging yang belum dihidangkan.

Setelah menemani anak-anak mengerjakan PR usai makan aku kembali ke kamar. Suamiku sedang duduk di sofa sambil meluruskan kaki dan membaca koran. Ku matikan televisi yang dinyalakan namun tidak dilihatnya.

Kujatuhkan tubuhku bersujud di bawah kakinya dengan hati berkecamuk dipenuhi sesal dan rasa bersalah.  Kuciumi kakinya. Dengan terbata-bata kuungkapkan segenap perasaanku.

“Selama ini aku selalu menyakiti perasaan bapak dan anak-anak kita dengan petualangnku,” air mataku jatuh bercucuran membasahi jari -jari kakinya. “Aku siap menerima hukuman bapak,” kataku pasrah.
Ia melipat korannya dengan tenang. Memandangku tanpa ekspresi.

“Jadi maksudmu?” Tanyanya dingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun