Aku menarik napas panjang. Meregangkan tubuh membiarkan ia terus berbicara dengan suaranya yang menggelora. “
“Kita akan melakukan perjalanan ke negara Eropa juga,” janjinya. “Hanya kita berdua,” ia mengulurkan tangan. Membelai pipiku dengan ekspresi bagai aktor panggung tengah merayu lawan mainnya dalam drama percintaan yang tengah dimainkannya.
Anehnya ingatanku justru meluncur drastis ke masa-masa awal pernikahanku dengan pria yang memilihku menjadi istrinya setelah pria yang kucintai mencampakkan ku demi gadis lain bersama tumpukan hartanya.
Waktu itu aku sedang mengandung anak pertama kami. Pak Bas hampir tiap tengah malam bangun untuk memijati kedua betisku yang kejang hingga aku kembali tertidur.
Ia lelaki pendiam. Tidak pernah merayu ku. Namun ingin ikut menanggung penderitaanku selagi mengandung anaknya dengan melakukan sesuatu yang membuatku terasa lebih nyaman.
Pada masa itu aku sering terbangun pagi hari. Menjumpai pak Bas tergolek kelelahan sambil memeluk kakiku.
Frans melanjutkan. “Resort yang ku janjikan sudah selesai dibangun,” katanya dengan nada berbunga. “Ini kutunjukkan fotonya,” dia membuka galeri hp. “Masih kosong. Karena aku ingin memberi kesempatan engkau yang mendekor isinya sesuai seleramu.”
Secara naluri kedua putraku merasa, ada pria lain yang menyusupi perasaanku selain ayahnya. Mereka jadi sangat sensitif. Bila melihatku duduk melamun secara reflek keduanya akan menghampiriku. Memelukku seraya bertanya, “ mama sedang sedih?”
Kedua anakku selalu membuat hatiku luluh. Begitu lembut dan baik hati. Kental mewarisi watak dan perangai suamiku.
Yang kulakukan biasanya adalah membalas pelukan keduanya. “Kalian adalah sumber seluruh kebahagiaanku,” bisikku haru. “Aku tidak pernah sedih.”
Mereka tertawa lebar sambil mengguncang tubuhku. “Sungguh ya ma!”