“Aku kurang dekat dengan anak-anakku,” katanya tanpa menunjukkan rasa penyesalan atas hancurnya ikatan perkawinan mereka. “Sejak lahir mereka dimonopoli keluarga istriku.”
Aku menunduk diam. Tidak ingin dianggap sebagai sumber keretakan hubungan keluarganya.
“Begitu urusan beres kau secepatnya ku hubungi,” janjinya sebelum kami berpisah.
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Setelah anak-anak berangkat sekolah ku utarakan niatku menemui “teman lama” kepada suamiku.
Seperti biasa ia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi tidak suka. Mengambil kunci mobil untuk menyetir sendiri ke kantor agar pak Dahlan bisa mengantarku. Sebelum berangkat ia masih sempat menjanjikan akan mengirim lauk makan siang untuk anak-anak. Karena ia tahu aku bakal pergi sampai sore. Tidak punya waktu mengurusi rumah.
Demikianlah dengan semangat menggelora aku menyongsong Frans yang sudah menungguku di tempat biasa. Menyongsong masa depan yang kami angankan semenjak masih remaja.
Frans memelukku erat sambil membisikkan kalimat kerinduan sebelum mengajakku duduk menyesap udara pagi yang sejuk berangin semilir di tengah limpahan sinar matahari yang terselubung awan biru.
Ia mengambil inisiatif duduk menjejeriku guna membicarakan beberapa langkah yang sudah ia persiapkan bagi kami berdua. Termasuk perjalanan bulan madu ke pulau Maldives.
Untuk meyakinkan dikeluarkannya brosur-brosur beberapa biro wisata dari map yang ia letakan di atas meja. Aku mencermati dengan berbagai perasaan berkecamuk. “
“Sudah saatnya engkau tinggalkan suami tuamu untuk menikmati Sorga dunia bersamaku,” bisiknya tepat di telinga seraya mempererat pelukannya.
Kurasakan hembusan napasnya yang berbau nikotin bercampur parfum beraroma maskulin yang rupanya ia semprotkan terlalu banyak ke tubuhnya. Menimbulkan bau menyengat yang memabukkan.