Kebijakan yang feodal dan patrimonial ini diperparah dengan adanya penggolongan masyarakat oleh Belanda dengan membentuk kebijakan pembagian masyarakat menjadi 3 golongan, yakni kelas atas atau kulit putih (Jepang, Amerika, Eropa), kelas kedua atau Timur Asing (Cina, India, Arab), dan kelas bawah atau pribumi. Hal tersebut yang membuat para pribumi akhirnya memiliki rasa kecemburuan.
Di Indonesia sendiri etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang tinggi di perekonomian negara. Di mana mereka memiliki kekayaan yang besar walaupun hanya memiliki populasi  dua persen dari total seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini yang membuat pemerintah khususnya pada massa Orde Baru memberikan hak-hak istimewa kepada pengusaha kelas atas, yakni etnis Tionghoa.Â
Didik Rachbini mengungkapkan jika hak istimewa tersebut "menimbulkan ketidakpuasasan masyarakat terhadap perencanaan, proses dan penggunaan hasil. Di mana Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses politik dan ekonomi. Mereka dipandang hanya sebagai objek pembangunan".
Dari yang sudah dijelaskan tadi maka reaksi dari rakyat Indonesia saat itu adalah melakukan diskriminasi. Salah satu contoh dari diskriminasi etnis Tionghoa di Indonesia terjadi pada masa Orde Baru, di mana ratusan orang Tionghoa mengalami pemerkosaan dan pembunuhan pada kerusuhan Mei 1998. Peristiwa ini didasari atas kesenjangan yang terjadi di Indonesia kala itu. Para pribumi merasakan kecemburuan kepada masyarakat Tionghoa yang memiliki penghasilan melebihi mereka. Selain itu yang melatarbelakangi peristiwa ini adalah krisis ekonomi dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Â
REFRENSI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H