Mohon tunggu...
Fani Nurul
Fani Nurul Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa

Pendidikan Sosiologi UNTIRTA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Anak Jalanan di Kota Serang

7 Desember 2020   00:08 Diperbarui: 7 Desember 2020   00:57 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota merupakan suatu wilayah yang terdiri dari masyarakat yang heterogen. Heterogenitasnya tersebut bisa dilihat dari banyaknya kalangan kelas sosial yang ada, mulai dari kelas atas, menengah atas, menengah bawah, dan kelas bawah. Situasi persaingan ekonomi yang tinggi dan juga urbanisasi yang sering terjadi di perkotaan, menimbulkan begitu banyak masalah sosial yang terjadi. Salah satu masalah sosial yang terjadi akibat dari hal tersebut adalah adanya anak jalanan di perkotaan.

Menurut Frans (dalam Adon, 2015: 300-301) Anak jalanan merupakan anak-anak marginal yang terpaksa atau dipaksa mencari nafkah bagi diri, keluarga atau orang lain dengan berjualan koran, mengamen, menyemir sepatu, pemulung, tukang sapu atau lap mobil, pedagang asongan, pengemis dan berbagai pekerjaan yang dapat menghasilkan uang.

Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kota Serang pada tahun 2019, kurang lebih ada sekitar 1.120 orang Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), terkhusus anak jalanan terdapat sebanyak 141 orang yang sudah terdata (biem.co, 2019). Hal ini menunjukan masih kurangnya perhatian dari lembaga sosial dan juga masyarakat dalam pengentasan persoalan anak jalanan tersebut. Padahal dalam pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 sudah jelas ditegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Akan tetapi kenyataannya masih banyak anak jalanan yang kurang mendapatkan perhatian dari Negara.

Seseorang menjadi anak jalanan tentunya di dasarkan oleh faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokannya menjadi faktor ekonomi, faktor budaya, faktor pendidikan, serta faktor lingkungan sosial.

Faktor ekonomi, faktor ekonomi keluarga yang rendah, dimana seorang ayah yang utama berperan sebagai pencari nafkah pekerjaannya tersebut masih belum cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi keluarganya sehingga mengharuskan mereka untuk bekerja di jalanan membantu orangtuanya. Faktor budaya, kegiatan bekerja dijalanan yang mereka lakukan ini merupakan kesadaran individu masing-masing untuk membantu perekonomian keluarga mereka, karena mereka sering melakukan kegiatan tersebut sehingga menimbulkan suatu kebiasaan atau budaya pada masing-masing individu. Faktor pendidikan, tingkat pendidikan orangtua yang rendah mempengaruhi pada perekonomian keluarganya rendah, maka berakibat pada anaknya dimana si anak jadi ikut serta untuk membantu mencukupi perekonomian keluarga padahal mereka belum memiliki modal keahlian. Faktor lingkungan sosial, anak jalanan yang sebagian besar merupakan pemulung ini memiliki sebuah perkumpulan atau komunitas tetapi tidak secara resmi. Sebagian besar dari mereka bertempat tinggal di satu wilayah yang sama dan juga mereka bersekolah di tempat yang sama. Dari lingkungan sosialnya tersebut akan berpengaruh si anak untuk ikut-ikutan dengan temannya.

Kegiatan anak jalanan ini mereka bekerja di jalanan selama kurang lebih 8 jam sehari yaitu dari pukul 5 sore hari hingga pukul 12 malam hari. Mereka beraktivitas di jalanan mencari barang rongsokan seperti kardus, kaleng bekas, botol plastik, dan lain sebagainya. Di sela mereka mencari barang rongsokan tersebut mereka juga terkadang mengemis di lampu merah atau di tempat-tempat keramaian. Penghasilan yang mereka dapat dari memulung rongsokan yaitu Rp. 50.000/orang dalam satu hari, tetapi terkadang bertambah dari kegiatan mengemis juga. Penghasilannya tersebut mereka berikan semua kepada orangtua mereka untuk membeli kebutuhan sehari-hari keluarga. Selain berkegiatan di alun-alun kota serang mereka juga terkadang berpindah ke daerah Pandean, mencari tempat-tempat ramai lainnya. Mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini, tidak ada sedikit pun dari mereka yang takut akan bahaya yang akan mengintai mereka. Mereka hanya berpikir bagaimana mereka bisa mendapatkan uang yang banyak untuknya dan juga keluarga mereka.

Berdasarkan perspektif sosiologi hal tersebut dapat dikaitan dengan teori tindakan sosial dari Max Weber. Menurut Weber (Ritzer, 2012), tipe tindakan sosial individu dibedakan berdasarkan orientasi tindakan, menjadi empat tindakan yaitu Tindakan Rasional Instrumental, Tindakan Rasional Berorientasi Nilai, Tindakan Tradisional, dan Tindakan Afektif. Dalam kasus ini tindakan individu menjadi seorang anak jalanan didasari dari tipe tindakan afektif, dimana keterlekatan emosional seperti empati, simpati, kasian, sedih, cinta, marah itu lah yang memicu individu melakukan sebuah tindakan sosial. Penyebab, orientasi, dan juga motivasi individu dalam melakukan tindakan tersebut didasarkan atas pertimbangan emosionalnya.

Hal tersebut sungguh ironis, melihat kemajuan kota yang berkembang cukup pesat, serta kemajuan teknologi juga ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat tetapi masih saja ada kelompok-kelompok kecil yang kurang beruntung seperti mereka para anak jalanan ini.

(oleh Fani Nurul Fazriah, Pendidikan Sosiologi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun